Selasa, 09 September 2008

“Antara Idealisme Dan Akar Rumput”

Mahasiswa Dan Partisipatif;

Generasi muda sebagai harapan sebuah bangsa merupakan bagian khasanah bangsa yang akan mampu menjadi penopang kemajuan negara di masa depan. Di setiap pengalaman hidup yang ditemui adalah pembelajaran bagi setiap manusia yang menghadapinya. Pendidikan menjadi suatu hal yang sangat penting pada masa sekarang ini, dimana melalui pendidikan dan luasnya wawasan manusianya maka peluang kemajuan bangsa pun akan semakin luas. Era globalisasi menyebabkan negara kecil akan semakin terpuruk ketika tidak mampu menyiapkan generasi mudanya untuk kemajuan bangsa. Membangun peradaban yang maju memerlukan perjuangan dan tindakan tepat, hal ini terkait dengan kompetisi internasional.

Mahasiswa yang biasa disebut dengan intelektual muda memang dipersiapkan guna melanjutkan perjuangan bangsa dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam sosiologi pengetahuan, kaum intelektual dimasukkan sebagai kelas sosial baru yang menguasai ilmu pengetahuan dan dengan pengetahuannya mereka memiliki kapital budaya (cultural capital) yang dengan kapasitasnya bisa saja kapital budaya itu apakah akan dikembangkan menjadi kapital uang atau kapital politik (Gouldner 1979). Dalam pengembangannya, tidak lepas dari ilmu pengetahuan bahwa perencanaan akan dimulai dengan berbagai persiapan hingga observasi dan penelitian. Telah lama bangsa ini dimanjakan dengan sistem top down, dimana sekarang saatnya untuk mengubah konsepsi pembangunan tersebut selalu top down menjadi bottom up. Begitu pula metode penelitian partisipatif seharusnya menjadi pendekatan utama dalam menentukan perencanaan pembangunan selanjutnya.

Metode penelitian partisipatif memiliki banyak varian, misalnya disebutkan seperti Participatory Rural Appraisal (PRA), Rapid Rural Appraisal (RRA), Participatory Gender Analisys (PGA) dan Participatory Action Research (PAR). Model partisipatif memang harus memiliki kemampuan yang cukup besar, namum penelitian dengan metode tersebut diatas akan mengutamakan peran serta masyarakat. Melalui peran serta masyarakat tersebut pencapaian pemberdayaan masyarakat dapat tercipta dan masyarakat tidak lagi selamanya menggantungkan kepada pihak-pihak lain. Dengan demikian perencanaan yang akan disusun pun akan mengarah pada pengupayaan kemandirian sebuah masyarakat, serta kebijakan yang diambil pun akan sesuai kebutuhan dan karakter obyek. Selain itu, sasaran bukan hanya sebagai obyek namun sebagai subyek pembaharu dalam rangka pencapaian kesejahteraan sosial.

Masih banyak mahasiswa yang merasa bahwa dirinya sebagai intelektual dan akhirnya menganggap dirinya adalah lebih pandai serta mengetahui ilmunya. Namun, sebenarnya masyarakat merupakan area ilmu pengetahuan yang luar biasa, sehingga banyak hal yang tidak diketahui oleh mahasiswa dari bangku kuliah. Mahasiswa akan lebih tepat diawali sebagai fasilitator untuk membantu masyarakat menciptakan kesejahteraannya. Hal ini terkait dengan apa yang diperoleh di bangku kuliah tidak sama dengan realita di masyarakat umum. Masih sering juga pembangunan berdasarkan pengetahuan intelektual semata, bukan belajar dari karakter masyarakat dan hasilnya pun sering diabaikan oleh masyarakat pula. Memang idealisme terkadang berbenturan dengan aspirasi dan konflik akar rumput, pada akhirnya sisi teknis dan ideal harus dikalahkan. Belajar dari masyarakat merupakan bagian ilmu pengetahuan yang sangat berharga.

Kamis, 26 Juni 2008

Kearifan Kultural dan Global Warming

Peran Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Lingkungan Sebagai Upaya
Mengurangi Efek Pemanasan Global

Issue Global Warming sangat terkait dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Perubahan yang dapat ditimbulkan dari efek pemanasan global meliputi pencairan gunung es berakibat meningkatnya debit air dunia hingga perubahan iklim. Teknologi yang tidak ramah lingkungan dan modernisasi memberikan kontribusi besar dalam kerusakan lingkungan serta menimbulkan global warming. Konstruksi masyarakat sekarang ini menyebabkan masyarakat sulit lepas dari teknologi. Selain itu aktivitas manusia yang semakin kompleks memaksa manusia harus menggunakan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi transportasi ini yang nantinya akan menyokong pula terciptanya polusi udara. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pengetahuan manusia masih dapat dikatakan belum baik, terutama kesadaran terhadap penyebab dan dampak dari kerusakan lingkungan. Pemanfaatan teknologi yang sangat tinggi ini tidak diiringi dengan bekal pengetahuan, informasi maupun pendidikan masyarakat. Tak pelak bahwa kesadaran masyarakat dalam pemanfaatannya kurang melihat aspek wawasan lingkungan.

Lingkungan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat adalah organisasi kelompok manusia yang memiliki kebudayaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Budaya dan kesadaran measyarakat dalam melestarikan lingkungan harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Bukan hanya budaya sebagai fungsi guna mempertahankan diri, tetapi juga memperhatikan kembali bagaimana mampu menjaga kelestarian lingkungan yang baik. Kearifan lokal masih menjadi salah satu potensi masyarakat Indonesia yang dapat dikembangkan kembali, disini dalam konteks pelestarian lingkungan sebagai upaya memperbaiki lingkungan. Kearifan lokal ini seringkali terlupakan oleh seluruh institusi formal yang berupaya mentransformasikan pemahaman akan lingkungan kepada masyarakat. Padahal pada masyarakat sendiri mempunyai skema dalam memperoleh pemahaman atas sesuatu, termasuk pelestarian terhadap alam.

Eksploitasi sumber daya alam tidak melihat keberlanjutan dari alam atau lingkungan itu sendiri. Demi mencapai keuntungan yang maksimal, pengeksploitasi tidak mau tahu apa yang akan terjadi dengan lingkungan dan dampak yang mungkin dapat ditimbulkan. Kehidupan yang semakin modern memberikan kontribusi besar bagi terjadinya global warming. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_ global).

Cara paling sederhana dan paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Nampak jelas bahwa pelestarian lingkungan menjadi cara yang paling dekat dengan manusia. Dengan demikian tidak ada alasan lagi tindakan pesestarian lingkungan tidak dilakukan. Walaupun harus dimulai dari lingkup yang kecil, namun itu sebuah tindakan nyata. Gerakan untuk penanaman kembali pohon-pohon dan memperbaiki lingkungan yang mulai rusak atau tercemar harus menjadi prioritas.

Setiap masyarakat memiliki karakteristik yang belum tentu sama dengan masyarakat lainnya. Kebudayaan masyarakat terbentuk melalui proses yang sangat panjang. Proses tersebut tidak terlepas dari masyarakatnya, terutama faktor lingkungan tempat hidup memberi pengaruh dominan. Banyak pengetahuan lokal yang seharusnya sangat efektif dalam memberi penjelasan kepada masyarakat terhadap kehidupan dan lingkungan. Pesan yang dibawa oleh mitos ataupun aktivitas budaya masyarakat setempat memang tidak semuanya memiliki rasional yang relevan. Namun, ketika budaya tersebut terkait dengan lingkungan alam, yang dapat ditemukan bahwa pesan atas penghargaan alam secara tersirat sebenarnya telah disampaikan kepada masyarakat.
Dalam masyarakat telah terendap kebudayaan (acuan anggota masyarakat dalam bersikap dan bertingkah laku), struktur sosial (bentuk interaksi antaranggota masyarakt), dan kepribadian (karakteristik individu dalam memberi respon kepada individu lain). Kelestarian nilai-nilai kultural antara lain dapat diidentifikasi dari keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara ‘siklus kehidupan’ yang terkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian (Usman, 2004:259-260).

Aktivitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat memiliki tempat tersendiri dan kemudian memberi pemahaman secara tepat kepada masyarakat. Banyak pengalaman bahwa melalui kearifan lokal atau kearifan kultural pesan terhadap kelestarian alam dapat tersampaikan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak. Berbicara lingkup, memang kearifan lokal bukan berada pada area wilayah yang luas, namun setiap masyarakat mempunyai kearifan kultural sendiri-sendiri. Kearifan kultural ini dapat dikembangkan oleh masyarakat tersebut untuk menyampaikan pesan efektif kepada masyarakat. Masyarakat lebih disatukan oleh aspek kulturalnya yaitu bagaimana masyarakat tersebut menyikapi kahidupannya. Maka melalui pendekatan budaya pula, seharusnya sosialisasi kepada masyarakat disampaikan. Kearifan kultural bukan hanya terdapat pada wilayah tertentu saja, melainkan kearifan kultural ini hanya memiliki jenis yang berbeda pada setiap wilayah. Sehingga pengembangan kearifan kultural sesuai karakteristik lokal guna upaya pelestarian lingkungan demi mancapai kehidupan lebih baik, serta mampu mengurangi dampak global warming dapat dilakukan.

Disisi lain, sekarang ini mulai ditinggalkannya aktivitas budaya masyarakat. Hal ini dikarenakan dianggapnya aktivitas budaya tersebut tidak lagi relevan dengan masa sekarang ini. Mitos yang berkembang pun mulai dilupakan tanpa mengerti makna yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Gaya hidup modern memberi kontribusi dalam mengubah pola pikir masyarakat yang mayoritas berorientasi ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan. Kemudian mulai teralienasinya aktivitas budaya masyarakat dan pada suatu waktu nanti akan menghilang. Komersialisasi pemanfaatan hutan yang menimbulkan konflik dengan tanah hak ulayat merupakan salah satu penyebab memudarnya kearifan yang dimiliki. Seharusnya memiliki perencanaan yang baik tanpa menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Kemudian ruang budaya dalam menjaga maupun pengembangan kearifan yang ada juga merupakan salah satu yang harus diperhatikan.
Pemerintah sebagai pihak yang paling berwewenang dalam mengatur segala kehidupan masyarakat, memang bukan suatu pekerjaan mudah. Dalam upaya mengurangi efek global warming sangat jelas diperlukan seluruh elemen masyarakat, dimana tidak hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga sektor industri. Semua itu membutuhkan komitmen kuat dalam upaya pelestarian lingkungan. Tidak ada sesuatu yang salah ketika pemerintah mengupayakan kearifan lokal sebagai sarana sosialisasi terhadap signifikasi pelestarian lingkungan pada masyarakat. Dengan demikian, pemerintah pun juga melakukan upaya memelihara kebudayaan bangsa.

Peran kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan merupakan salah satu upaya tepat dalam pelestarian maupun memperbaiki lingkungan. Melalui aktivitas budaya, seperti yang dilakukan di Pondok Pesan Trend Ilmu Giri Imogiri, Bantul, Yogyakarta; Dusun Turgo Sleman Yogyakarta; Bang Idin dengan konservasi kali Pasanggrahan; dan peraturan adat pemanfaatan hutan Komunitas Wehea Kutai Timur. Di Pesan Trend Ilmu Giri dan Dusun Turgo Sleman, mempunyai aktivitas budaya yang hampir sama, yaitu ketika akan ada pernikahan maka yang bersangkutan harus menanam bibit pohon jati. Letak perbedaan kedua tempat tersebut adalah jumlah bibit yang ditanam, dimana Pesan Trend Ilmu Giri berjumlah 20 bibit, sedangkan Dusun Turgo hanya 5 bibit. Bang Idin pada awalnya ditentang oleh banyak pihak, namun dengan niatan “membangun itu jangan menentang alam, tapi melihat tabiat alam”, maka upayanya berhasil dan memberikan teladan bagi banyak pihak.
Melalui kearifan lokal yang sesuai dengan masyarakat, dimana mampu secara langsung maupun tidak langsung menyampaikan pesan atas pelestarian lingkungan. Maka pembangunan lingkungan yang mampu dimanfaatkan secara berkelanjutan akan mampu tercapai. Dengan demikian manusia akan dapat bersahabat dengan lingkungan, serta lingkungan akan memberikan kebermanfaatannya yang akan mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pelestarian lingkungan melalui kearifan lokal memang berasal dari lingkup yang kecil, namun hal itu bukan suatu alasan untuk membatasi perkembangannya. Dari lingkup yang kecil ini akan memberikan stimulan pada lingkup-lingkup masyarakat yang lain sehingga masyarakat lain pun diberi sosialisasi nyata.

Jumat, 09 Mei 2008

Penciptaan Eksistensi Diri Melalui Cara Memanggil ”Ibu”

Satu kata yang memiliki makna luar biasa. Makna secara implisit bahwa Ibu adalah perempuan yang mengandung dan melahirkan kita didunia, sehingga bisa menikmati segenap keindahan yang ada. Arti kata “ibu” bahkan dalam makna konotasi pun hingga dijadikan sebagai suatu wilayah, misalnya ibukota propinsi, ibukota negara dan lainnya. Di Indonesia, nampak bagaimana Indonesia dalam artian bangsa pun disebut dengan sebutan “Ibu Pertiwi”. Luas, besar dan nampak indah kata “ibu” menunjukkan bagaimana sangat mengakarnya kata “ibu”, dimana melambangkan bahwa “ibu” adalah sesuatu yang hangat dan mampu mengayomi. Keberadaan kata “ibu” pada konteks diatas memang bukan sesuatu yang tiba-tiba, semua hal tersebut melalui proses panjang.

Dalam budaya masyarakat Patriarki, posisi perempuan dalam suatu masyarakat dianggap dibawah laki-laki. Patriarki dapat dipandang sebagai suatu hubungan sosial, dimana kaum laki-laki mendominasi, mengeksploitasi dan menindas kaum perempuan. Hartman telah mengatakan “kita sebaiknya mendefinisikan patriarki sebagai seperangkat relasi sosial antara kaum laki-laki, yang memiliki basis materiil, dan sekalipun hierarkis sifatnya, mengukuhkan atau menciptakan saling ketergantungan dan solidaritas antar kaum laki-laki yang membuat mereka mampu mendominasi kaum perempuan (Strinati,2007:227). Dalam penjelasan diatas pada akhirnya terdapat pembagian lingkup aktivitas pula yaitu perempuan lebih pada aktivitas domestik, sedangkan laki-laki ada pada sektor publik.

Peran perempuan dalam suatu keluarga memang sangat signifikan. Curahan kasih sayang, kehangatan dan perhatiannya kepada keluarga tidak terukur. Ibu mempunyai fungsi sosialisasi ketika seorang anak mulai mengenal lingkungan, walaupun memang bukan hanya peran ibu, melainkan ayah dan keluarga juga mempunyai kontribusi. Banyak hal yang dilakukan oleh seorang ibu, namun tetap saja posisi ibu selalu dibawah bayang-bayang seorang suami. Kapasitas dan kekaguman atas segala yang terlihat dari ibu memunculkan bahwa ibu adalah sebuah kata bermakna luar biasa. Sehingga seringkali kata “ibu” menjadi sebuah ungkapan atau bermakna konotasi yang berarti terkesan sebagai penjaga keberaturan. Tulisan diatas mencerminkan bagaimana makna sebenarnya dari kata “ibu” dengan penuh peran signifikan dalam kehidupan yang kemudian berkembang menjadi makna konotatif bernilai cukup penting pula.

Makna konotatif maupun denotatif atas “ibu” merupakan sesuatu yang mendalam. Pada masa kini, berkembang bagaimana menyampaikan ungkapan terhadap ibu memang sangat beragam. Misalnya, ”ibu”, ”mama”, ”mami”, ”bunda”, ”mbok’e” (jawa), ”umi” dan berdasar bahasa gaul sekarang ini adalah ”nyokap”. Kesemuanya tersebut memiliki makna yang sama yaitu cara menyapa ibu. Perbedaan cara memanggil ibu ini pun dapat menjelaskan bagaimana relasi sosial yang terjadi pada anak atau keluarga bersangkutan. Walaupun hal tersebut bukan menjadi patokan utama, karena sangat mungkin intervensi kebudayaan setempat yang berkembang memberi pengaruh khusus terhadap perbedaan cara memanggil ibu tersebut.

Perkembangan masa memang ikut andil dalam membentuk kebiasaan dalam cara memanggil ibu. Perkembangan yang terjadi sekarang ini dinamika atau perubahan sosial yang tidak bisa dilepaskan oleh salah satunya perkembangan teknologi informasi. Distribusi informasi beranekaragam dan berasal dari berbagai penjuru wilayah atau dunia serta dari berbagai latar kebudayaan yang berbeda. Hal ini jika dikonsumsi secara massal yang terjadi sangat mungin akan menjadi sebuah trend dan akan diikuti oleh lingkungan secara luas. Ketika ikatan indigeneous culture tidak lagi mempunyai posisi yang kuat, maka yang terjadi adalah kekaburan keaslian dan mengikuti hal yang baru tersebut. Pengikutan trend bisa saja merupakan salah satu fungsi eksistensi seseorang pada lingkungannya. Padahal trend yang ada sekarang ini atau yang diikuti belum tentu sesuai dengan nilai-nilai pada lingkungan yang bersangkutan. Hal ini termasuk pada bagaimana teknologi yang mendistribusikan informasi maupun hiburan mampu mempengaruhi bagaimana cara seorang anak memanggil ibunya.

Kepentingan dalam eksistensi diri pada lingkungan, sekarang ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Bahkan, seseorang akan berusaha menunjukkan eksistensinya dengan cara mengikuti perkembangan trend tanpa memperhatikan substansi sebenarnya trend tersebut. Cara memanggil ibu dengan berbagai kata pun mampu memperlihatkan bagaimana lingkungan orang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat memanggil ”ibu” dengan sebutan ibu adalah masyarakat kalangan menengah yang berada pada masyarakat pinggiran. Jika di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta, kata ”simbok” atau”mbok’e” masih sering terdengar di daerah pedesaan yang biasanya masih pada lingkungan berstatus sosial menengah kebawah. Namun, memang lebih dominan masyarakat status sosial yang masih belum banyak berkembang. Hal ini disebabkan juga masih minimnya fasilitas maupun sarana yang ada di daerah pedesaan tersebut. Sebutan ”mama” ataupun ”mami” merupakan cara memanggil yang memperlihatkan lingkungan yang bersangkutan lebih modern dan memiliki status sosial menengah keatas. Sebutan ”umi” lebih pada memperlihatkan bagaimana lingkungan keluarga tersebut mengarah pada latar belakang religi. Namun, sekarang ini cara memanggil ”umi” dan ”bunda” mulai disosialisasikan dalam keluarga karena terkesan lebih sopan. Sebutan paling gaul, ”nyokap”, merupakan trend masa kini. Sebutan ”nyokap” ini sebenarnya memiliki implikasi signifikan karena mulai berkurangnya penghormatan terhadap orang tua oleh pengaruh lingkungan.

Mengikuti trend cara memanggil ibu menjadi sebuah simbol guna eksistensi diri terhadap lingkungan. Cara memanggil ”simbok” dan ”mbok’e” mulai ditinggalkan, sebutan tersebut dianggap merupakan hal sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan lingkungan sekarang ini. Masyarakat sekarang ini memang lebih sering menggunakan kata ibu. Walaupun berkembang pula hingga sebutan ”nyokap”, dimana sebutan ini dianggap kurang sesuai dengan karakteristik masyarakat atau kebudayaan ketimuran yang masih menjunjung tinggi penghormatan kepada orang tua, terutama ibu. Sekarang ini panggilan terhadap ibu, pada masyarakat oleh orang tua diarahkan pada ”mama”, ”bunda” dan ”umi” karena panggilan tersebut dianggap lebih sopan dan menunjukkan status keluarga yang lebi terpandang. Namun, makna akan seorang ibu tidak akan berubah walaupun dengan berbagai sebutan terhadap ”ibu”.

Kamis, 24 April 2008

Resensi Film: The Secret

The Secret, sebuah film yang cukup menginspirasi. Sebagai film motivasi, The Secret memang mampu memberikan sebuah gambaran bagaimana harus membawai dan mengenal diri supaya mampu mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Secara ekstrimnya, mampu mencapai segala keinginannya. Dalam film ini dikupas bagaimana mengunkan rahasia-rahasia pribadi yang masih terpendam dalam diri, seperti rahasia uang, rahasia relasi, rahasia kesehatan, rahasia dunia, rahasia diri da rahasia kehidupan. Law of Attraction merupakan hukum atau teori yang coba dikaji dalam film ini. Dengan perspektif LoA, manusia dapat memperoleh apapun keinginannya dengan selalu berusaha memikirkan apapun keinginannya dan menjauhkan pikiran yang tidak diinginkan. ketika Anda merasa buruk atau merasakan emosi negatif, dengarkan sinyal yang Anda terima dari semesta. Pada saat itu juga Anda akan menghalangi kebaikan mendekati Anda karena Anda sedang berada di suatu frekuensi negatif. Ubahlah pikiran Anda dan pikirkan sesuatu yang baik. Ketika perasaan-perasaan yang baik mulai datang, Anda akan mengetahuinya karena Anda sudah memindahkan diri ke suatu frekuensi yang baru, dan Semesta telah mengukuhkannya dengan perasaan yang lebih baik (Byrne, 2007:37).

Dalam film The Secret, memperlihatkan bahwa manusia atau diri kitalah yang menarik segala sesuatu. Menurut Bob Proctor, filsuf, pengarang, dan pembimbing pribadi, kita bekerja dengan satu daya yang tak terhingga. Semua membimbing sendiri dengan hukum-hukum yang persis sama. Segala sesuatu yang datang ke dalam hidup Anda ditarik oleh Anda ke dalam hidup Anda. Dan segala sesuatu itu tertarik ke Anda oleh citra-citra yang Anda pelihara dalam benak Anda. Lalu Rhonda menegaskan, tidak menjadi soal siapa Anda atau di mana Anda berada, hukum tarik-menarik membentuk seluruh pengalaman hidup, dan hukum yang saat berdaya ini melakukannya melalui pikiran-pikiran Anda (Byrne, 2007:4-5). Dalam film, alam semesta akan merespon segala apa yang diinginkan oleh manusia yang memintanya. Ketika kita proses berpikir, dalam film The Secret, ditunjukkan bahwa seoleh-oleh kita memberikan tugas kepada alam semesta.

Perilaku dan sikap manusia terkesan pula bergantung dengan alam, hal ini nampak terlihat bahwa ketika menginginkan sesuatu maka mintalah pada alam melalui pikiran kita untuk menarik alam supaya mewujudkannya. Bahkan Dr. Joe Vitale menegaskan, semesta akan menyusun ulang dirinya dan mewujudkannya bagi Anda (Byrne, 2007:37). Sangat terlihat pada film The Secret bahwa alam merupakan faktor utama sebagai bagian yang akan mewujudkan segala keinginan manusia. Alam yang akan merespon dan mewujudkannya kepada manusia. Hal sangat menggelitik dan memunculkan pertanyaan besar terhadap alur film The Secret, yaitu film ini sama sekali tidak menyinggung keberadaan Tuhan. Pertanyaan dimanakah posisi Tuhan menjadi hal yang harus dikaji lebih jauh. Dan sangat mungkin film ini memang tidak akan pernah menyinggung keberadaan Tuhan.

Inspirasi yang muncul ketika menonton film The Secret ini adalah pada saat kita menginginkan sesuatu jangan pernah menyerah dan tetap fokus pada keinginan tersebut. Beberapa cerita yang dikisahkan dalam film ini, diceritakan seseorang yang selalu dililit hutang dan akhirnya sampai pada kesulitan untuk melunasinya. Dalam film, hal ini dikarenakan orang tersebut tidak pernah berpikir positif bahwa dia akan mampu melunasi semua hutang-hutangnya. Berbeda dengan cerita seorang penulis yang mengharapkan uang US $ 100.000 (seratus ribu dolar amerika) dalam waktu beberapa bulan saja. Dia selalu berpikur tentang uang tersebut, dan dikisahkan, akhirnya keinginannya tersebut terpenuhi, walaupun tidak mencapai keinginannya, tetapi memperoleh sekitar US $ 98.000. Kemudian ada pula dikisahkan seorang wanita yang menderita penyakit dan cukup kecil kemungkinan untuk sembuh, dan pada akhirnya dikisahkan pula bahwa penyakit wanita tersebut dapat sembuh total dalam waktu tiga bulan. Wanita ini hanya berkeinginan untuk sehat kembali dan selalu berpikir bahwa dia akan sembuh dari penyakitnya. Satu lagi contoh yang cukup menggelitik, dimana seorang pria, pelukis muda dengan perawakan yang bagus, namun yang terjadi dia tidak pernah mempunyai hubungan pada orang lain (terutama wanita). Dia mempunyai keinginan yang lumayan konyol yaitu setiap minggu dapat berkencan dengan tiga wanita. Dia disarankan supaya melukiskan apa yang dia inginkan dan selalu memikirkan hal tersebut. Dan keinginan itu pun menjadi kenyataan pula. Hingga keinginannya untuk menikah pun diawali dengan menggambar. Tidak memungkiri cerita-cerita yang dikisahkan diatas memang benar-benar terjadi. Namun cukup aneh ketika melihat film tersebut, dimana kisah yang dipaparkan sebenarnya tidaklah sesederhana kisah yang digambarkan dalam film tersebut.

Melalui cerita-cerita yang disajikan dalam film The Secret nampak bagaimana orang-orang memperoleh keinginannya dengan mudah. Kisah yang digambarkan memang sangat inspiring dan mengagumkan, namun sedikit menggelitik jika keinginan yang tercapai sangat mudah diperolehnya hanya cukup dengan memikirkannya, pastilah terdapat proses didalamnya. Namun dalam cerita film The Secret, proses atau usaha dalam mencapai keinginan tersebut tidak diperlihatkan secara komprehensif, dimana terkesan hanya dengan selalu memikirkan keinginan-keinginannya saja. Secara visual yang dapat diambil pelajaran dalam film ini sebuah motivasi dan pengharapan tinggi untuk tetap terus mencapai keinginan-keinginan kita, serta mengajak untuk berani mempunyai mimpi.

Keberadaan Tuhan, menjadi pertanyaan besar pada penyajian film ini. Law of Attraction adalah hukum daya tarik yang bisa dilakukan oleh semua manusia guna mengkomunikasikan keinginannya kepada alam semesta. Sangat ditekankan bahwa alam semesta merupakan komponen utama dalam pencapaian keinginan manusia. Bahkan dalam film digambarkan permintaan keinginan terhadap alam semesta seperti permintaan Alladin yang menggosok lampu ajaib yang selalu direspon oleh Jin di dalamnya dengan kata “Your wish is my command!”. Hal ini sangat jelas bahwa alamlah yang berperan mengabulkan keinginan-keinginan manusia. Disinilah muncul pertanyaan, dimana sebenarnya keberadaan Tuhan pada film ini. Dengan kata lain yang lebih signifikan dapat dikatakan seolah-olah tidak ada Tuhan Yang Maha Esa dalam film ini. Semuanya tergantung dengan manusianya sendiri dan alam semesta yang akan mengabulkan permintaan manusia tersebut. Disebut pula bahwa semesta ini tersusun dari energi-energi, bahkan Tuhan pun disebut sama dengan energi, dan Tuhan berada pada diri manusia atau mungkin diri kita adalah Tuhan. Pernyataan yang sangat berani dan kontroversi, terutama bagi masyarakat Indonesia yang notabene adalah bangsa yang beragama.

Film The Secret dengan Law of Attraction-nya memiliki substansi yang hampir sama dengan Quantum Ikhlas yang ditulis oleh Erbe Sentanu yaitu mengajak untuk selalu berpikir posiitif. Dari perspektif Quantum Ikhlas, Law of Attraction merupakan salah satu istilah untuk menjelaskan fenomena attraction (tarik-menarik) di level quantum setiap benda. Berbeda, Quantum Ikhlas menekankan bagaimana relasi manusia dengan Tuhan, dimana ikhlas diartikan sebagai kompetensi (skill) penyerahan diri total kepada Tuhan untuk meraih puncak sukses dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Quantum Ikhlas sendiri adalah sebuah metode sukses paripurna yang dengan sejuk memadukan kekuatan budaya timur dan barat. Kekuatan ilmu pengetahuan terkini seperti neuroscience, quantum physics, evolutionary biology, chaos theory, brain science dan science of the mind, dengan tuntunan bijak falsafah hidup dan keagamaan. Yang membuat proses pencapaian kesuksesan menjadi lebih sederhana sekaligus menenteramkan (www.4shared.com/file/41277583/46e3dbc0/Quantum_ Ikhlas.html). Perbedaan yang sangat signifikan, dimana pada film, motivasi dan terkabulnya sesuatu adalah dari alam semesta serta tidak menyentuh keberadaan Tuhan. Sedangkan pada Quantum Ikhlas sangat bergantung dan berpasrah pada Tuhan demi mendapatkan ketentraman serta keinginannya.
Guna mendapatkan sesuatu dalam kehidupan memang harus dengan niatan yang kuat, serta tidak melupakan usaha yang maksimal pula. Dalam mencapai keinginan memang kita harus punya keinginan terlebih dahulu supaya mengetahui apa yang sebenarnya menjadi keinginan kita. Kemudian usaha dalam mencapai keinginan tersebut haruslah maksimal dan bersungguh-sungguh. Ketika keinginan muncul dari dalam hati seseorang maka haruslah dijaga keinginan tersebut untuk dicapai, dengan cara bahwa penguatan keinginan tersebut harus memiliki manfaat dengan niatan yang sungguh-sungguh. Kemudian keinginan haruslah segera diwujudkan dalam tindakan usaha guna perwujudannya. Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang optimistis, namun jangan sampai mengarah pada ambisius atau bahkan perfeksionis. Karena jika sesuatu berlebihan, hasilnya pun tidak akan baik juga. Karena kita umat beragama, maka sikap tawakal kepada Tuhan menjadi kunci terakhir guna mencapai keinginan dan keberhasilan.

Law of Attraction adalah sebuah teori tarik-menarik pada setiap benda, dimana sifat dan perilaku benda tersebut adalah ciptaan Tuhan. Di setiap benda padat, jika kita telaah lebih jauh, digunakan mikroskop elektron dan seterusnya maka akan dijumpai bahwa didalamnya adalah medan energi quanta yang memiliki vibrasi tinggi. Jauh lebih tinggi dari vibrasi benda padat manapun yang bisa kita raba. Dan sebenarnya di “kedalaman” setiap benda padat sebenarnya tersusun oleh energi quanta yang sama. Dan ternyata energi quanta ini melingkupi semua hal yang ada di alam semesta ini. Jadi di level quanta semua hal, mahluk hidup, benda di alam semesta ini berhubungan satu sama lain. Inilah kenapa suatu vibrasi akan menyebabkan vibrasi di tempat lain, atau dengan kata lain terjadi resonansi (http://ronnyfr.com/index.php/2007/10/25/ melihat-law-of-attraction-dari-sisi-quantum-ikhlas/). Inilah yang disebut dengan ilmu pengetahuan mengenai fisika quantum.

Keinginan yang kuat, usaha yang sungguh-sungguh serta sikap pasrah diri pada Tuhan merupakan kunci tercapainya keinginan manusia. Pengalaman pribadi, dimana pernah saya kecelakaan yang menyebabkan tulang pada bagian tangan meleset (patah). Padahal dalam waktu satu bulan, saya harus mengikuti kegiatan nasional, dan sekitar empat bulan sebelumnya sudah dipersiapkan dengan latihan-latihan. Kekecewaan yang luar biasa ketika harus batal mengikuti kegitan nasional tersebut. Bukan perkara mudah untuk bisa sembuh dalam waktu beberapa minggu. Bahkan telah dipersiapkan orang lain yang akan segera masuk menggantikan posisi saya untuk dapat mengikuti kegiatan tersebut. Keinginan diri ini cukup kuat untuk dapat mengikuti kegiatan tersebut, dengan kata lain bahwa saya harus segera pulih dari cidera yang saya alami.

Identifikasi awal ketika berobat, dikatakan bahwa memang ini dapat segera pulih minimal dalam waktu tiga minggu, tetapi harus tetap berhati-hati dan terapi pemulihan. Sekitar dua hari berobat, rasa sakit sudah tidak dapat ditahan. Karena waktu itu saya masih duduk kelas 2 SMP, dan mungkin ketidaktegaan orang tua saya melihat anaknya, keesokan harinya saya langsung melakukan treatment operasi. Biaya yang dikeluarkan pun memang tidak sedikit dan kemungkinan untuk pulih total rata-rata adalah tiga bulan. Pengobatan setelah itu harus benar-benar intensif dan berhati-hati. Keinginan untuk segera sembuh dalam hati saya memang sangat tinggi, hal ini memang dikarenakan motivasi untuk tetap dapat ikut dalam kegiatan nasional tersebut. Dua minggu telah nampak kemajuan yang cukup signifikan, mulai berlatih mengangkat benda-benda ringan sendiri. Saya harus hati-hati dan sabar dalam menjalani proses mencapai kesembuhan saya. Dalam waktu hampir tiga minggu, saya sudah kembali mengikuti latihan, walaupun tidak sepenuhnya. Motivasi dalam diri saya yang mendorong pula untuk segera sembuh. Dan akhirnya minggu keempat saya sudah berlatih seperti biasa, walau terkadang terasa nyeri, sehingga saya dapat berangkat pada kegiatan nasional tersebut. Hal ini diawali dengan niatan yang kuat sehingga upaya guna mencapai keinginan tersebut pun juga akan bersungguh-sungguh pula, serta bertawakal pada Tuhan.

Jadi, dalam film The Secret, dengan memikirkan hal-hal positif pada setiap perilaku dan sikap kita akan memberikan implikasi positif pula. Namun bukan berarti tanpa usaha yang maksimal dan bergantung pada alam semesta, melainkan bagaimana juga dengan kehendak Tuhan sehingga kita harus bertawakal dan berdoa kepada Nya. Film ini memang sangat memberikan motivasi untuk dapat bermimpi dan mencapai sesuatu. Namun dalam film ini tidak digambarkan bagaimana proses perjalanan keberhasilan pencapaian keinginan tersebut, sehingga terkesan dalam film ini sangat mudah dalam memperoleh keinginan manusia. Teori Law of Attraction memang tersampaikan secara sederhana dalam film The Secret, namun proses yang ditampilkan seharusnya tidaklah sesederhana yang digambarkan dalam film tersebut.

Minggu, 16 Maret 2008

Perdebatan Metodologi dalam Ilmu Sosial

Unifikasi Science dan Humaniora: Sebuah Cita-Cita
Juergen Habermas, pengarang Zur Logik der Sozialwissensshaften, dimana bermaksud menentang pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam (Naturwissenchaften) dan humaniora (Geisteswisstenschaften) dengan melakukan rekonstruksi merodologis melalui ro go beyond neo-Kantian epistemology. Menurut Habermas ridak perlu ada pemisahan secara tegas antara logika ilmu (science) dan logika humaniora. Kedua logika tersebut dapat dimanfaat dan saling memberikan keuntungan jika diterapkan dalam memahami realitas sosial. Kekhawatiran Habermas atas pertentangan kedua logika diatas bukanlah ide orisinalnya, lebih tepat disebut “Kant jaman akhir” yang merekonstruksi ide filosof sebelumnya. Jika dilihat kebelakang Max Weber telah memulai perdebatan metode mengenai disiplin ilmu ekonomi, yang berupaya memberikan jawaban atas pertanyaan apakah ilmu ekonomi termasuk nomologi atau ideografis, dimana selain memiliki aspek matematis juga dimensi histories. Hingga sekarang perdebatan yang terjadi adalah perdebatan faham ekonometrik dengan ekonomi berwawasan social-budaya.
Weber tidak pernah menekankan bahwa metode penelitian yang dia gunakan adalah verstehen, tapi juga erklaren. Verstehen merupakan suatu modifikasi cara interpretasi atas teks, sedangkan erklaren merupakan penjelasan gejala social dengan melihat kausalitas. Weber telah memunculkan spirit “to brings the methods of natural science dan humanities under one roof”. Dalam perkembangan Teori Sosiologi Kontemporer, Weber dianggap mempromosikan pendekatan verstehen, dimana dianggap sebagai ahli sosiologi yang memberi sumbangan dalam interpretasi realitas social, bukan analisis.

Tahun 1970-an perdebatan logika penelitian didominasi oleh positivisme, seperti Thomas Khun yang karyanya menegaskan keberadaan ilmu pengetahuan alam daripada humaniora. Habermas berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma diberbagai dominasi konsep empiris analitis dalam ilmu social dengan menunjukkan pentingnya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi social dan kemanusiaan. Memahami, membela dan mengkritik menjadi hal penting dalam perkembangan Teori Kritis Habermas, dimana mampu meningkatkan peran verstehen dan mengurangi hegemoni positivisme pada batas proporsional. Disini pemikiran Weber telah disempurnakan Habermas tidak hanya memiliki 2 metode, yaitu alam dan humaniora, tetapi dikembangkan juga pendekatan psikoanalisis yaitu metodologi refleksi diri.

Perselisihan Metode dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
Weber menekankan sosiolog harus memiliki wawasan histori, artinya tanpa memahami sejarah maka tak akan mampu menangkap makna dari sebuah dinamika budaya. Sehingga dalam penelitian sosial harus menyajikan sejarah yang memicunya hingga berkembang perselisihan metodologi tersebut. Dominasi positivisme telah berlangsung sejak abad 18-an. Kaum positivis menanggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan melalui ilmu alam berdasar logika alam, dimana pengetahuan yang tidak didasarkan ilmu alam bukan dianggap sebagai ilmu. Jika ilmu social-budaya ingin dianggap ilmu harus mengadopsi ilmu alam. Pernyataan tersebut menjadi perdebatan panjang bermula di Jerman dan menyebar ke Eropa dan Amerika, disebut Methodenstreit. Beberapa pemikir Jerman mencoba membebaskan dominasi positivisme dengan memberikan pendasaran baru.

Perselisihan metode diawali perdebatan disiplin ilmu ekonomi antara Gustav Schmoller dan Carl Menger tahun 1870-an dan 1880-an, yaitu apakah ilmu ekonomi harus berdasar pada metode “eksakta” atau “histories”, metode “abstrak” atau “empiris”, dan metode “deduktif” atau “induktif”. Dengan kata lain, apakah termasuk nomotetik (pengetahuan yang mencari keteraturan) atau ideografik (pengetahuan yang menyoroti gejala individual dan historis). Menurut Ricket dan Windelband membedakan ilmu nomotetik berdasar metode ilmu alam dan ideografik berdasar humaniora. Max Weber menolak epistemologis diatas dan tidak pula menyetujuinya. Dalam dilema metodologisnya bahwa ilmu social bebas nilai, tetapi juga menegaskan relevansi nilai dalam memahami gejala social. Selain itu juga menegaskan bahwa ilmu social mengambil alih ilmu alam, sehingga mengusulkan metode erklaeren dan juga menggunakan metode verstehen. Inilah sikap dualisme yang berupaya meletakkan landasan epistemologis to go beyond neo-kantian. Perdebaran metode ilmu ekonomi didominasi oleh positivisme, dimana ilmu ekonomi mensejajarkan diri dengan ilmu alam. Hal ini bukan hanya kehebatan paradigma yang bersangkutan tapi karena dukungan komunitas ilmiah.

Begitu pula terjadi pada ilmu sosiologi, dimana untuk dikatakan ilmu, sosiologi harus mengadopsi cara berpikir matematis dalam metode penelitiannya. Maka timbul hegemoni positivisme yaitu adanya logika survey dan statistis dalam analisis. Dominasi positivisme ini mendapat tentangan keras dari Habermas yang mengakui kehebatan positivisme sekaligus meletakkannya pada porsi ilmu-ilmu social. Dengan teori kritis dan metode refleki diri telah berhasil memetakan persoalan mendasar dalam sosiologi dengan cara memberikan pendasaran epistemologi dan metodologi.

Kekuasaan Pembangunan, Logika Positivis dan Hegemoni (Metode Sosial)
Penelitian social dan pembangunan adalah hal yang terkait, dimana penelitian sebagai sarana control pembangunan, tapi di Indonesia hanya sebagai legitimasi pembangunan semata. Sehingga sangat deterministic terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif. Hal diatas berupaya mendiskusikan metode-metode penelitian alternatif yang relevan dalam pembangunan dimasa depan. Konsep pembangunan diyakini sebagai cara menyelesaikan masalah kemiskinan, buta huruf, kekumuhan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dll. Bahkan para kritisi menyebutnya mitos. Perbincangan mengarah pada bidang akademik untuk menentukan kearah mana harus berjalan. Target pembangunan menentukan pemilihan dan penggunaan metode penelitian yang relevan.

Hubungan antara proses pencapaian target pada PJPT I dan metode empiris-analitis kiranya lebih mengutamakan hubungan ideologis, sebab keduanya menyembunyikan kepentingan yang sama, yaitu kepentingan teknis. Hal ini dilakukan untuk memprediksi jalannya transformasi sosial. Melalui kontrol politik, masyarakat direkayasa supaya target pembangunan menjadi kenyataan. Disisi lain, peneliti berpikir deduktif dalam mengevaluasi jalannya pembangunan. Pengetahuan teoritis yang dipakai untuk mengandaikan realita diturunkan dalam bentuk hipotesis dan instrumentasi untuk melakukan cek empiris. Dengan bantuan feed back monitoring suatu tes empiris akan menstranfer balik falsifikasi kepada hipotesis. Keunggulan metode ini adalah memberikan generalisasi dan prediksi.

Model pembangunan dan penelitian diatas cenderung memahami manusia hanya sebagai obyek statis yang dapat dimanipulasi. Habermas menyebutnya dengan tindakan “sok bersifat ilmiah”, jika hanya diukur dari angka pertumbuhan sekedar didasarkan pada abstraksi teoritis, mampukah keduanya merumuskan “standar hidup berkecukupan”. Namun prestasi Orde Baru dalam merealisasikan target PJPT I menunjukkan hasil yang berarti, namun kesuksesan tersebut perlu diperhitungkan, apakah pertumbuhan tersebut disertai demokratis? Karena kepentingan teknis metode empiris analitis maka kurang mampu melakukan refleksi atas perkembangan social. Pada PJPT II menitikberatkan pada kualitas manusia sebagai pusat pembangunan, maka metode haermeunetis dan kritis perlu diberi ruang gerak lebih lebar. metode haermeunetis dan kritis berusaha memahami manusia dari dimensi interaksi social budaya, baik horizontal dan vertical, dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis dan struktur politik yang mengungkungnya.

metode haermeunetis dan kritis juga disebut metode interpretative, dimana memahami makna kebudayaan dan sejarah melalui ekspresi berbahasa. Dengan memahami ekspresi bahasa, metode hermeunetik berupaya mengungkap intensitas komunikasi social. Dalam keadaan komunikasi distortif, melalui pemahaman ekspresi bahasa dan interpretasi inter-subyektif akan mampu menguak berbagai bentuk perlawanan terselubung yang terjadi di masyarakat. Metode penelitian kritis berupaya mengungkap factor politis dan ideologis apa yang menjadi penghambat kmunikasi tersebut. Setiap metode saling terkait secara integrative juga terkait secara kritis sehingga dapat saling mengontrol. Penerapan seperti itu akn mencegah kecenderungan instrumentasi metode penelitian untuk sekadar dipakai sebagai alat legitimasi pembangunan masyarakat.
Catatan Penutup
Melihat realita politis di Indonesia, metodologi penelitian harus diajarkan secara komplit kepada mahasiswa dab tidak berat sebelah serta tidak bias positivistisme. Untuk itu harus dilaksanakan reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemology Habermas dapat digunakan sebagai acuan untuk pendidikan metodologis. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang terjadi sebelumnya seorang mahasiswa dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Berdasar taksonomi Habermas, metode penelitian social mencakup substansi Metode Penelitian Sosial (MPS), Metode Penelitian Kuantitatif, Metode Penelitian Kualitatif dan Statistik Sosial.
(Resume buku Menumbuhkan Ide-Ide Kritis )

ekspansi Jepang dan refleksi konsumsi simbolis

Dimasa sekarang ini, masyarakat telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan, yaitu kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi. Satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah kegiatan nasional akan semakin erat dengan perkembangan internasional (Usman, 2004:3). Semakin tipisnya batas-batas administrasi negara satu dengan negara lain saat ini menyebabkan kontrol terhadap pengaruh luar menjadi sangat kecil pula. Barang-barang impor merajai pasar dalam negeri serta tidak hanya merusak bargaining produk lokal, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Kasus di Indonesia, kondisi seperti demikian dapat memunculkan suatu ketergantungan masyarakat terhadap barang-barang impor yang tidak dimiliki negara Indonesia. Jepang merupakan salah satu negara pengekspor terbesar di Indonesia dan menguasai pasar di Indonesia, seperti teknologi elektronik dan transportasi.

Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, dimana kehadirannya dapat dilihat dikalangan penduduk sekarang ini, yang dapat dikatakan lebih modern. Kemajuan penduduk sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi teknologi yang semakin berkembang dan canggih. Hampir setiap aspek kebutuhan, sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari intervensi teknologi. Melihat hal diatas, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis. Dalam kecenderungan ini identitas dan subjektifitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun masalah nasionalisme (Feathersone dalam Abdullah, 2006:29). Kondisi diatas memicu kemungkinan bahwa basis materi telah menjadi dasar pendefinisian diri dan pembentukan identitas kota (baru), dalam artian kehidupan yang lebih modern, dimana secara langsung tampak dalam gaya hidup. Sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Motor atau kendaraan bukan lagi menjadi suatu barang yang eksklusif, karena hampir setiap penduduk memilikinya. Hanya saja dengan perkembangan teknologi transportasi, sekarang ini bukan lagi kepemilikan kendaraannya, melainkan yang membedakan adalah tipe kendaraan yang dimiliki penduduk tersebut. Semakin terbaru dan mewah menunjukkan pemaknaan terhadap stratifikasi kelas bahwa mereka termasuk dalam status sosial yang tinggi.

Proses konsumsi seperti konsumsi perumahan dan barang-barang berteknologi canggih dalam pemenuhan kebutuhan merupakan instrumen yang cukup signifikan untuk menjelaskan hidup. Tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas (Douglas dan Isherwood, 1980) yang didasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi (Goffman, 1951). Cara-cara masyarakat menggunakan barang untuk membangun batas sosial merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan pada abad selanjutnya. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya kehidupan yang lebih modern sebagai bagian dari tatanan ekonomi internasional (Abdullah, 2006:33). Pada masa sekarang ini pemenuhan kebutuhan, seperti transportasi dan barang elektronik menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemenuhan kebutuhan tidak lagi didasarkan pada nilai kegunaan barang konsumsi, tetapi lebih dari itu bahwa pemenuhan kebutuhan atas barang tersebut digunakan pula sebagai refleksi kelas sosial dan bagian dari life style. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah bahwa proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang paling besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional. Produk Jepang yang sangat canggih menjadi sebuah cerminan bahwa strata sosial yang dibentuk oleh penggunaan produksi Jepang merefleksikan tingkat sosial consumer.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan yang lebih canggih, modern dan yang terbaru bisa menjadi salah satu cara dalam melakukan mobilisasi vertikal. Terkait dengan hal sebelumnya, dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah mebedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Nilai simbolis dalam konsumsi pun tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar justru menegaskan kolektivitas, walaupun dalam bentuk identitas komunal yang berbaga hidup berbeda. Orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semula terbentuk telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik tiap kelompok. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari eksistensi. Hal ini berkaitan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar asesoris, tetapi barang-barang itu merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi suatu proses konsumsi yang penting, dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian, makanan atau barang lainnya) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Dari kelompok kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self) (Abdullah, 2006:33-34).

Dengan demikian masuknya barang-barang elektronik dan teknologi transportasi serta barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya memberi peluang bagi penduduk Indonesia untuk mengakses barang-barang tersebut. Masuknya barang berteknologi canggih pada awalnya dianggap sangat biasa, namun teknologi canggih pun terus mengalami perkembangan sehingga teknologi keluaran terbaru dan biasanya lebih canggih dari sebelumnya inilah yang akan memiliki nilai dan citra yang lebih tinggi pula. Sekarang ini barang impor dari Jepang menjadi penguasa pasar, terutama sarana transportasi, baik motor atau kendaraan, mobil hingga mobil angkutan. Selain itu Jepang juga memproduksi barang-barang elektronik dengan kualitas nomor wahid dan cukup memiliki tempat di pasaran Indonesia. Hal ini seiring dengan kebutuhan penduduk atas barang-barang tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, dimana terkait dengan waktu yang semakin kompetitif. Sarana transportasi misalnya, sudah banyak penduduk memilikinya, namun yang lebih terbarulah yang merefleksikan berada diposisi mana pemiliknya. Dari sisi eksistensi, penduduk berlomba-lomba memenuhi kebutuhan namun tidak sekedar melihat kegunaan saja melainkan fungsi konsumsi simbolis pun menjadi determinan penting. Keadaan ini dapat dilihat dengan semakin tingginya permintaan kendaraan di Indonesia. Berdasakan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan sepanjang Januari hingga Juni 2007 mencapai 197.642 unit. Jika dibandingkan dengan penjualan periode yang sama tahun 2006 yang sebesar 149.632 unit terjadi peningkatan penjualan sebesar 32 %. Produksi Jepang masih menjadi pilihan utama bagi penduduk Indonesia, misalnya Yamaha, Suzuki dan Honda. Begitu pula merek mobil yang beredar di Indonesia, penjualan masih didominasi oleh pabrikan mobil Jepang, seperti Suzuki, Mitshubisi, Daihatsu dan Honda (www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/16/teropong/lainnya03. htm). Penjualan barang elektronik di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 21 % dengan nilai total Rp. 14 Triliun, naik dari angka tahun lalu sebesar Rp. 12 Triliun. (Antara, Senin 10/12/02 dalam http:/indotradeinvestment.blogspot.com). Dan pabrikan Jepang pun masih sangat diminati.

Keadaan diatas sangat jelas menunjukkan bagaimana konstruksi pasar yang dibentuk oleh ekspansi pasar Jepang sangat kuat di Indonesia. Citra barang Jepang menjadi refleksi tersendiri terhadap kepentingan mobilitas vertikal guna menjaga eksistensi seseorang pada suatu lingkungan. Indikasi peningkatan permintaan bukan semata-mata disebabkan membaiknya kondisi ekonomi (makro) negara Indonesia, malainkan sangat bervariasi faktor yang mendorong terjadi hal tersebut. Semua determinan cukup kompleks dan saling mendukung, serta faktor pemenuhan konsumsi simbolik didorong pula oleh berbagai keadaan yang memberi peluang untuk memenuhi kebutuhan, bukan sekedar berdasar fungsional. Namun keinginan untuk menjaga eksistensi dan mengikuti lingkungan menjadi faktor yang harus diperhatikan. Hal ini terkait bagaimana sifat dasar manusia yang selalu ingin menaikkan posisinya secara sosial pada posisi yang lebih baik, atau dengan kata lain sifat manusia yang selalu melakukan mobilitas vertikal terhadap hidupnya.

Ada apa dengan "budaya"?

Culture, tidak gampang mencoba mendiskripsikan sebuah kebuadayaan. Hingga saat ini kebudayaan memiliki lebih dari 250 definisi, sudah tentu bukan tokoh sembarang dalam mencoba mengartikan sebuah kebudayaan. Kebudayaan sangat luas dan prural. Kebudayaan dapat dimulai dikaji melalui tiga titik segitiga yang dipertemukan pada satu titik di tengah segitiga itu.

Pertama, sistem nilai. Sistem nilai dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu kepercayaan, ilmu dan commonsense. Kedua, individu sosial. Pada titik kedua ini lebih kepada menunjukkan perilaku yang terbentuk dari pengaruh yang telah terinternalisasi menjadi bentukan atas mainstream terstruktur pada pola sikap mauoun perilaku. Ketiga, artefak. Artefak merupakan wujud yang mencoba menjadi sebuah simbol untuk melambangkan makna dari fenomena yang sebenarnya tengah terjadi. Ketiga titik tersebut dipertemukan pada satu titik tengah yaitu natural resources yang akan menjadi sebuah core, dimana natural resources menjadi sebuah determinan dominan dalam mempengaruhi ketiganya.

Walaupun dengan kerangka yang sama, yaitu skema diatas, pendiskripsian terhadap definisi kebudayaan tresebut pun sangat beragam. Ada yang hanya melihat "budaya" dari sistem nilai yang terbentuk pada lingkungan komunitas tertentu. Ditambah pula sistem nilai yang coba untuk dikonstruksikan pun beragam. Sudut pandang kepercayaan dalam mengkaji sistem nilai sangat berbeda dengan perspektif ilmu dan commonsense untuk mengatakan sebuah "kebudayaan". Konstruksi dasar yang cukup mudah untuk mengatakan perbedaan diskriptif terhadap sistem nilai adalah konstruksi konservatif dan modern, dimana kontruksi konservatif lebih diidentikkan dari perspektif kepercayaan. Walaupun sangat tidak menutup kemungkinan bahwa "kepercayaan" pun merupakan bentukan dan menjadi sebuah habitus pada masyarakat.

Kedua, individu dan social, disini akan memudahkan ketika disebut dengan perilaku. Jadi pada titik kedua ini perilaku mulai terbentuk, baik oleh individu maupun social (kolektif). Terbentuknya perilaku oleh individu atau kolektif ini tidak terlepas dari kebiasaan yang telah terbentuk karena factor natural resources yang dimiliki individu ataupun komunitas. Perilaku yang dimunculkan merupakan sebuah representasi dari keadaan sebenarnya atau kekayaan yang dimiliki oleh individu atau komunitas tersebut. Perilaku dan sikap bukanlah hal yang sama, ketika berbicara perilaku merupakan sebuah pemikiran yang telah diwujudkan dengan tindakan, sedangkan sikap masih bersifat abstrak dan biasanya bersifat normatif. Pada suatu wilayah akan memiliki konsensus terhadap perilaku yang siterima, berbeda dengan wilayah yang lain karena setiap tempat memiliki resources yang tidak sama pula.

Ketiga, artefak dengan kata lain alat atau berupa barang. Artefak merupakan hasil dari sebuah kebudayaan, dimana bisa berupa barang maupun sebuah simbol yang dijadikan sebagai penanda. Hal ini terkait dengan hasil dari perilaku dan sisitem nilai yang membaur kemudian memuncukan simbol. Kemungkinan yang biasa terjadi adalah banyak simbol yang serupa suatu daerah dengan daerah lain. Namun belum tentu dengan model atau bentuk simbol yang sama berarti dengan makna yang sama pula, tapi tidak selamanya seperti itu karena bentukan terhadap simbol akan mungkin memiliki makna yang berbeda di tempat yang berbeda.

Ketiga titik dari skema yang membentuk substansi kebudayaan ini merupakan sebuah rangkaian yang saling terikat dan terkait, dimana dihubugkan dengan natural resources. Sumber daya alami inilah yang akan menentukan bagaimana sistem nilai, perilaku dan artefak terbentuk. Ketiganya tidak memiliki dominansi salah satu faktor tetapi semuanya berjalan bersama dan saling mendukung. Arah panah yang menggambarkan aliran gerak satu titik dengan titik yang lain pun bisa bolak-balik tanpa harus dimulai pada satu titik tertentu. Dengan demikian budaya ini sangat luas, dimana dengan pemaknaan kebudayaan yang sangat luas maka setiap sendi pemikiran, perilaku dan hasil atau simbol yang kita kenal saat ini bisa dikatakan menjadi sebuah budaya. Dan pada akhirnya tidak dapat didefinisikan secara pasti dengan satu makna apakah arti budaya itu? Jadi budaya hanya bisa kita maknai bahwa disitu terdapat sistem nilai, individu/sosial (perilaku) dan artefak.