Minggu, 16 Maret 2008

Perdebatan Metodologi dalam Ilmu Sosial

Unifikasi Science dan Humaniora: Sebuah Cita-Cita
Juergen Habermas, pengarang Zur Logik der Sozialwissensshaften, dimana bermaksud menentang pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam (Naturwissenchaften) dan humaniora (Geisteswisstenschaften) dengan melakukan rekonstruksi merodologis melalui ro go beyond neo-Kantian epistemology. Menurut Habermas ridak perlu ada pemisahan secara tegas antara logika ilmu (science) dan logika humaniora. Kedua logika tersebut dapat dimanfaat dan saling memberikan keuntungan jika diterapkan dalam memahami realitas sosial. Kekhawatiran Habermas atas pertentangan kedua logika diatas bukanlah ide orisinalnya, lebih tepat disebut “Kant jaman akhir” yang merekonstruksi ide filosof sebelumnya. Jika dilihat kebelakang Max Weber telah memulai perdebatan metode mengenai disiplin ilmu ekonomi, yang berupaya memberikan jawaban atas pertanyaan apakah ilmu ekonomi termasuk nomologi atau ideografis, dimana selain memiliki aspek matematis juga dimensi histories. Hingga sekarang perdebatan yang terjadi adalah perdebatan faham ekonometrik dengan ekonomi berwawasan social-budaya.
Weber tidak pernah menekankan bahwa metode penelitian yang dia gunakan adalah verstehen, tapi juga erklaren. Verstehen merupakan suatu modifikasi cara interpretasi atas teks, sedangkan erklaren merupakan penjelasan gejala social dengan melihat kausalitas. Weber telah memunculkan spirit “to brings the methods of natural science dan humanities under one roof”. Dalam perkembangan Teori Sosiologi Kontemporer, Weber dianggap mempromosikan pendekatan verstehen, dimana dianggap sebagai ahli sosiologi yang memberi sumbangan dalam interpretasi realitas social, bukan analisis.

Tahun 1970-an perdebatan logika penelitian didominasi oleh positivisme, seperti Thomas Khun yang karyanya menegaskan keberadaan ilmu pengetahuan alam daripada humaniora. Habermas berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma diberbagai dominasi konsep empiris analitis dalam ilmu social dengan menunjukkan pentingnya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi social dan kemanusiaan. Memahami, membela dan mengkritik menjadi hal penting dalam perkembangan Teori Kritis Habermas, dimana mampu meningkatkan peran verstehen dan mengurangi hegemoni positivisme pada batas proporsional. Disini pemikiran Weber telah disempurnakan Habermas tidak hanya memiliki 2 metode, yaitu alam dan humaniora, tetapi dikembangkan juga pendekatan psikoanalisis yaitu metodologi refleksi diri.

Perselisihan Metode dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
Weber menekankan sosiolog harus memiliki wawasan histori, artinya tanpa memahami sejarah maka tak akan mampu menangkap makna dari sebuah dinamika budaya. Sehingga dalam penelitian sosial harus menyajikan sejarah yang memicunya hingga berkembang perselisihan metodologi tersebut. Dominasi positivisme telah berlangsung sejak abad 18-an. Kaum positivis menanggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan melalui ilmu alam berdasar logika alam, dimana pengetahuan yang tidak didasarkan ilmu alam bukan dianggap sebagai ilmu. Jika ilmu social-budaya ingin dianggap ilmu harus mengadopsi ilmu alam. Pernyataan tersebut menjadi perdebatan panjang bermula di Jerman dan menyebar ke Eropa dan Amerika, disebut Methodenstreit. Beberapa pemikir Jerman mencoba membebaskan dominasi positivisme dengan memberikan pendasaran baru.

Perselisihan metode diawali perdebatan disiplin ilmu ekonomi antara Gustav Schmoller dan Carl Menger tahun 1870-an dan 1880-an, yaitu apakah ilmu ekonomi harus berdasar pada metode “eksakta” atau “histories”, metode “abstrak” atau “empiris”, dan metode “deduktif” atau “induktif”. Dengan kata lain, apakah termasuk nomotetik (pengetahuan yang mencari keteraturan) atau ideografik (pengetahuan yang menyoroti gejala individual dan historis). Menurut Ricket dan Windelband membedakan ilmu nomotetik berdasar metode ilmu alam dan ideografik berdasar humaniora. Max Weber menolak epistemologis diatas dan tidak pula menyetujuinya. Dalam dilema metodologisnya bahwa ilmu social bebas nilai, tetapi juga menegaskan relevansi nilai dalam memahami gejala social. Selain itu juga menegaskan bahwa ilmu social mengambil alih ilmu alam, sehingga mengusulkan metode erklaeren dan juga menggunakan metode verstehen. Inilah sikap dualisme yang berupaya meletakkan landasan epistemologis to go beyond neo-kantian. Perdebaran metode ilmu ekonomi didominasi oleh positivisme, dimana ilmu ekonomi mensejajarkan diri dengan ilmu alam. Hal ini bukan hanya kehebatan paradigma yang bersangkutan tapi karena dukungan komunitas ilmiah.

Begitu pula terjadi pada ilmu sosiologi, dimana untuk dikatakan ilmu, sosiologi harus mengadopsi cara berpikir matematis dalam metode penelitiannya. Maka timbul hegemoni positivisme yaitu adanya logika survey dan statistis dalam analisis. Dominasi positivisme ini mendapat tentangan keras dari Habermas yang mengakui kehebatan positivisme sekaligus meletakkannya pada porsi ilmu-ilmu social. Dengan teori kritis dan metode refleki diri telah berhasil memetakan persoalan mendasar dalam sosiologi dengan cara memberikan pendasaran epistemologi dan metodologi.

Kekuasaan Pembangunan, Logika Positivis dan Hegemoni (Metode Sosial)
Penelitian social dan pembangunan adalah hal yang terkait, dimana penelitian sebagai sarana control pembangunan, tapi di Indonesia hanya sebagai legitimasi pembangunan semata. Sehingga sangat deterministic terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif. Hal diatas berupaya mendiskusikan metode-metode penelitian alternatif yang relevan dalam pembangunan dimasa depan. Konsep pembangunan diyakini sebagai cara menyelesaikan masalah kemiskinan, buta huruf, kekumuhan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dll. Bahkan para kritisi menyebutnya mitos. Perbincangan mengarah pada bidang akademik untuk menentukan kearah mana harus berjalan. Target pembangunan menentukan pemilihan dan penggunaan metode penelitian yang relevan.

Hubungan antara proses pencapaian target pada PJPT I dan metode empiris-analitis kiranya lebih mengutamakan hubungan ideologis, sebab keduanya menyembunyikan kepentingan yang sama, yaitu kepentingan teknis. Hal ini dilakukan untuk memprediksi jalannya transformasi sosial. Melalui kontrol politik, masyarakat direkayasa supaya target pembangunan menjadi kenyataan. Disisi lain, peneliti berpikir deduktif dalam mengevaluasi jalannya pembangunan. Pengetahuan teoritis yang dipakai untuk mengandaikan realita diturunkan dalam bentuk hipotesis dan instrumentasi untuk melakukan cek empiris. Dengan bantuan feed back monitoring suatu tes empiris akan menstranfer balik falsifikasi kepada hipotesis. Keunggulan metode ini adalah memberikan generalisasi dan prediksi.

Model pembangunan dan penelitian diatas cenderung memahami manusia hanya sebagai obyek statis yang dapat dimanipulasi. Habermas menyebutnya dengan tindakan “sok bersifat ilmiah”, jika hanya diukur dari angka pertumbuhan sekedar didasarkan pada abstraksi teoritis, mampukah keduanya merumuskan “standar hidup berkecukupan”. Namun prestasi Orde Baru dalam merealisasikan target PJPT I menunjukkan hasil yang berarti, namun kesuksesan tersebut perlu diperhitungkan, apakah pertumbuhan tersebut disertai demokratis? Karena kepentingan teknis metode empiris analitis maka kurang mampu melakukan refleksi atas perkembangan social. Pada PJPT II menitikberatkan pada kualitas manusia sebagai pusat pembangunan, maka metode haermeunetis dan kritis perlu diberi ruang gerak lebih lebar. metode haermeunetis dan kritis berusaha memahami manusia dari dimensi interaksi social budaya, baik horizontal dan vertical, dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis dan struktur politik yang mengungkungnya.

metode haermeunetis dan kritis juga disebut metode interpretative, dimana memahami makna kebudayaan dan sejarah melalui ekspresi berbahasa. Dengan memahami ekspresi bahasa, metode hermeunetik berupaya mengungkap intensitas komunikasi social. Dalam keadaan komunikasi distortif, melalui pemahaman ekspresi bahasa dan interpretasi inter-subyektif akan mampu menguak berbagai bentuk perlawanan terselubung yang terjadi di masyarakat. Metode penelitian kritis berupaya mengungkap factor politis dan ideologis apa yang menjadi penghambat kmunikasi tersebut. Setiap metode saling terkait secara integrative juga terkait secara kritis sehingga dapat saling mengontrol. Penerapan seperti itu akn mencegah kecenderungan instrumentasi metode penelitian untuk sekadar dipakai sebagai alat legitimasi pembangunan masyarakat.
Catatan Penutup
Melihat realita politis di Indonesia, metodologi penelitian harus diajarkan secara komplit kepada mahasiswa dab tidak berat sebelah serta tidak bias positivistisme. Untuk itu harus dilaksanakan reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemology Habermas dapat digunakan sebagai acuan untuk pendidikan metodologis. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang terjadi sebelumnya seorang mahasiswa dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Berdasar taksonomi Habermas, metode penelitian social mencakup substansi Metode Penelitian Sosial (MPS), Metode Penelitian Kuantitatif, Metode Penelitian Kualitatif dan Statistik Sosial.
(Resume buku Menumbuhkan Ide-Ide Kritis )

ekspansi Jepang dan refleksi konsumsi simbolis

Dimasa sekarang ini, masyarakat telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan, yaitu kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi. Satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah kegiatan nasional akan semakin erat dengan perkembangan internasional (Usman, 2004:3). Semakin tipisnya batas-batas administrasi negara satu dengan negara lain saat ini menyebabkan kontrol terhadap pengaruh luar menjadi sangat kecil pula. Barang-barang impor merajai pasar dalam negeri serta tidak hanya merusak bargaining produk lokal, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Kasus di Indonesia, kondisi seperti demikian dapat memunculkan suatu ketergantungan masyarakat terhadap barang-barang impor yang tidak dimiliki negara Indonesia. Jepang merupakan salah satu negara pengekspor terbesar di Indonesia dan menguasai pasar di Indonesia, seperti teknologi elektronik dan transportasi.

Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, dimana kehadirannya dapat dilihat dikalangan penduduk sekarang ini, yang dapat dikatakan lebih modern. Kemajuan penduduk sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi teknologi yang semakin berkembang dan canggih. Hampir setiap aspek kebutuhan, sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari intervensi teknologi. Melihat hal diatas, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis. Dalam kecenderungan ini identitas dan subjektifitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun masalah nasionalisme (Feathersone dalam Abdullah, 2006:29). Kondisi diatas memicu kemungkinan bahwa basis materi telah menjadi dasar pendefinisian diri dan pembentukan identitas kota (baru), dalam artian kehidupan yang lebih modern, dimana secara langsung tampak dalam gaya hidup. Sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Motor atau kendaraan bukan lagi menjadi suatu barang yang eksklusif, karena hampir setiap penduduk memilikinya. Hanya saja dengan perkembangan teknologi transportasi, sekarang ini bukan lagi kepemilikan kendaraannya, melainkan yang membedakan adalah tipe kendaraan yang dimiliki penduduk tersebut. Semakin terbaru dan mewah menunjukkan pemaknaan terhadap stratifikasi kelas bahwa mereka termasuk dalam status sosial yang tinggi.

Proses konsumsi seperti konsumsi perumahan dan barang-barang berteknologi canggih dalam pemenuhan kebutuhan merupakan instrumen yang cukup signifikan untuk menjelaskan hidup. Tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas (Douglas dan Isherwood, 1980) yang didasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi (Goffman, 1951). Cara-cara masyarakat menggunakan barang untuk membangun batas sosial merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan pada abad selanjutnya. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya kehidupan yang lebih modern sebagai bagian dari tatanan ekonomi internasional (Abdullah, 2006:33). Pada masa sekarang ini pemenuhan kebutuhan, seperti transportasi dan barang elektronik menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemenuhan kebutuhan tidak lagi didasarkan pada nilai kegunaan barang konsumsi, tetapi lebih dari itu bahwa pemenuhan kebutuhan atas barang tersebut digunakan pula sebagai refleksi kelas sosial dan bagian dari life style. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah bahwa proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang paling besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional. Produk Jepang yang sangat canggih menjadi sebuah cerminan bahwa strata sosial yang dibentuk oleh penggunaan produksi Jepang merefleksikan tingkat sosial consumer.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan yang lebih canggih, modern dan yang terbaru bisa menjadi salah satu cara dalam melakukan mobilisasi vertikal. Terkait dengan hal sebelumnya, dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah mebedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Nilai simbolis dalam konsumsi pun tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar justru menegaskan kolektivitas, walaupun dalam bentuk identitas komunal yang berbaga hidup berbeda. Orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semula terbentuk telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik tiap kelompok. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari eksistensi. Hal ini berkaitan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar asesoris, tetapi barang-barang itu merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi suatu proses konsumsi yang penting, dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian, makanan atau barang lainnya) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Dari kelompok kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self) (Abdullah, 2006:33-34).

Dengan demikian masuknya barang-barang elektronik dan teknologi transportasi serta barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya memberi peluang bagi penduduk Indonesia untuk mengakses barang-barang tersebut. Masuknya barang berteknologi canggih pada awalnya dianggap sangat biasa, namun teknologi canggih pun terus mengalami perkembangan sehingga teknologi keluaran terbaru dan biasanya lebih canggih dari sebelumnya inilah yang akan memiliki nilai dan citra yang lebih tinggi pula. Sekarang ini barang impor dari Jepang menjadi penguasa pasar, terutama sarana transportasi, baik motor atau kendaraan, mobil hingga mobil angkutan. Selain itu Jepang juga memproduksi barang-barang elektronik dengan kualitas nomor wahid dan cukup memiliki tempat di pasaran Indonesia. Hal ini seiring dengan kebutuhan penduduk atas barang-barang tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, dimana terkait dengan waktu yang semakin kompetitif. Sarana transportasi misalnya, sudah banyak penduduk memilikinya, namun yang lebih terbarulah yang merefleksikan berada diposisi mana pemiliknya. Dari sisi eksistensi, penduduk berlomba-lomba memenuhi kebutuhan namun tidak sekedar melihat kegunaan saja melainkan fungsi konsumsi simbolis pun menjadi determinan penting. Keadaan ini dapat dilihat dengan semakin tingginya permintaan kendaraan di Indonesia. Berdasakan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan sepanjang Januari hingga Juni 2007 mencapai 197.642 unit. Jika dibandingkan dengan penjualan periode yang sama tahun 2006 yang sebesar 149.632 unit terjadi peningkatan penjualan sebesar 32 %. Produksi Jepang masih menjadi pilihan utama bagi penduduk Indonesia, misalnya Yamaha, Suzuki dan Honda. Begitu pula merek mobil yang beredar di Indonesia, penjualan masih didominasi oleh pabrikan mobil Jepang, seperti Suzuki, Mitshubisi, Daihatsu dan Honda (www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/16/teropong/lainnya03. htm). Penjualan barang elektronik di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 21 % dengan nilai total Rp. 14 Triliun, naik dari angka tahun lalu sebesar Rp. 12 Triliun. (Antara, Senin 10/12/02 dalam http:/indotradeinvestment.blogspot.com). Dan pabrikan Jepang pun masih sangat diminati.

Keadaan diatas sangat jelas menunjukkan bagaimana konstruksi pasar yang dibentuk oleh ekspansi pasar Jepang sangat kuat di Indonesia. Citra barang Jepang menjadi refleksi tersendiri terhadap kepentingan mobilitas vertikal guna menjaga eksistensi seseorang pada suatu lingkungan. Indikasi peningkatan permintaan bukan semata-mata disebabkan membaiknya kondisi ekonomi (makro) negara Indonesia, malainkan sangat bervariasi faktor yang mendorong terjadi hal tersebut. Semua determinan cukup kompleks dan saling mendukung, serta faktor pemenuhan konsumsi simbolik didorong pula oleh berbagai keadaan yang memberi peluang untuk memenuhi kebutuhan, bukan sekedar berdasar fungsional. Namun keinginan untuk menjaga eksistensi dan mengikuti lingkungan menjadi faktor yang harus diperhatikan. Hal ini terkait bagaimana sifat dasar manusia yang selalu ingin menaikkan posisinya secara sosial pada posisi yang lebih baik, atau dengan kata lain sifat manusia yang selalu melakukan mobilitas vertikal terhadap hidupnya.

Ada apa dengan "budaya"?

Culture, tidak gampang mencoba mendiskripsikan sebuah kebuadayaan. Hingga saat ini kebudayaan memiliki lebih dari 250 definisi, sudah tentu bukan tokoh sembarang dalam mencoba mengartikan sebuah kebudayaan. Kebudayaan sangat luas dan prural. Kebudayaan dapat dimulai dikaji melalui tiga titik segitiga yang dipertemukan pada satu titik di tengah segitiga itu.

Pertama, sistem nilai. Sistem nilai dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu kepercayaan, ilmu dan commonsense. Kedua, individu sosial. Pada titik kedua ini lebih kepada menunjukkan perilaku yang terbentuk dari pengaruh yang telah terinternalisasi menjadi bentukan atas mainstream terstruktur pada pola sikap mauoun perilaku. Ketiga, artefak. Artefak merupakan wujud yang mencoba menjadi sebuah simbol untuk melambangkan makna dari fenomena yang sebenarnya tengah terjadi. Ketiga titik tersebut dipertemukan pada satu titik tengah yaitu natural resources yang akan menjadi sebuah core, dimana natural resources menjadi sebuah determinan dominan dalam mempengaruhi ketiganya.

Walaupun dengan kerangka yang sama, yaitu skema diatas, pendiskripsian terhadap definisi kebudayaan tresebut pun sangat beragam. Ada yang hanya melihat "budaya" dari sistem nilai yang terbentuk pada lingkungan komunitas tertentu. Ditambah pula sistem nilai yang coba untuk dikonstruksikan pun beragam. Sudut pandang kepercayaan dalam mengkaji sistem nilai sangat berbeda dengan perspektif ilmu dan commonsense untuk mengatakan sebuah "kebudayaan". Konstruksi dasar yang cukup mudah untuk mengatakan perbedaan diskriptif terhadap sistem nilai adalah konstruksi konservatif dan modern, dimana kontruksi konservatif lebih diidentikkan dari perspektif kepercayaan. Walaupun sangat tidak menutup kemungkinan bahwa "kepercayaan" pun merupakan bentukan dan menjadi sebuah habitus pada masyarakat.

Kedua, individu dan social, disini akan memudahkan ketika disebut dengan perilaku. Jadi pada titik kedua ini perilaku mulai terbentuk, baik oleh individu maupun social (kolektif). Terbentuknya perilaku oleh individu atau kolektif ini tidak terlepas dari kebiasaan yang telah terbentuk karena factor natural resources yang dimiliki individu ataupun komunitas. Perilaku yang dimunculkan merupakan sebuah representasi dari keadaan sebenarnya atau kekayaan yang dimiliki oleh individu atau komunitas tersebut. Perilaku dan sikap bukanlah hal yang sama, ketika berbicara perilaku merupakan sebuah pemikiran yang telah diwujudkan dengan tindakan, sedangkan sikap masih bersifat abstrak dan biasanya bersifat normatif. Pada suatu wilayah akan memiliki konsensus terhadap perilaku yang siterima, berbeda dengan wilayah yang lain karena setiap tempat memiliki resources yang tidak sama pula.

Ketiga, artefak dengan kata lain alat atau berupa barang. Artefak merupakan hasil dari sebuah kebudayaan, dimana bisa berupa barang maupun sebuah simbol yang dijadikan sebagai penanda. Hal ini terkait dengan hasil dari perilaku dan sisitem nilai yang membaur kemudian memuncukan simbol. Kemungkinan yang biasa terjadi adalah banyak simbol yang serupa suatu daerah dengan daerah lain. Namun belum tentu dengan model atau bentuk simbol yang sama berarti dengan makna yang sama pula, tapi tidak selamanya seperti itu karena bentukan terhadap simbol akan mungkin memiliki makna yang berbeda di tempat yang berbeda.

Ketiga titik dari skema yang membentuk substansi kebudayaan ini merupakan sebuah rangkaian yang saling terikat dan terkait, dimana dihubugkan dengan natural resources. Sumber daya alami inilah yang akan menentukan bagaimana sistem nilai, perilaku dan artefak terbentuk. Ketiganya tidak memiliki dominansi salah satu faktor tetapi semuanya berjalan bersama dan saling mendukung. Arah panah yang menggambarkan aliran gerak satu titik dengan titik yang lain pun bisa bolak-balik tanpa harus dimulai pada satu titik tertentu. Dengan demikian budaya ini sangat luas, dimana dengan pemaknaan kebudayaan yang sangat luas maka setiap sendi pemikiran, perilaku dan hasil atau simbol yang kita kenal saat ini bisa dikatakan menjadi sebuah budaya. Dan pada akhirnya tidak dapat didefinisikan secara pasti dengan satu makna apakah arti budaya itu? Jadi budaya hanya bisa kita maknai bahwa disitu terdapat sistem nilai, individu/sosial (perilaku) dan artefak.