Jumat, 02 Januari 2009

Penerapan local (cultural) wisdom guna melestarikan lingkungan


Penerapan kearifan lokal dianggap mempunyai tempat tersendiri bagi masyarakat karena muncul dari kesadaran masyarakat sendiri untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan. Penerapan kearifan kultural dilakukan di Bantul, Yogyakarta yaitu di pondok Pesan Trend Ilmu Giri Imogiri. Pondok pesantren ini merupakan pondok pesantren masyarakat, dimana seluruh masyarakatnya merupakan santri-santrinya. Ikatan kebudayaan yang nampak pada Pesan Trend Ilmu Giri dapat dikatakan cukup kental. Cara penyampaian pesan keagamaan kepada masyarakat pun banyak yang melalui kearifan lokal yang dimilki masyarakat disana. Selain ilmu religi, pesantren ini juga berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan mamnfaatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh lingkungan dan masyarakatnya. Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri yaitu HM. Nasruddin Anshoriy Ch merupakan tokoh masyarakat yang memiliki peran cukup sentral.

Pada pondok Pesan Trend Ilmu Giri ini mempunyai kebiasaan masyarakat yaitu terdapat kewajiban menanam pohon jati. Menanam pohon jati ini dilakukan ketika terdapat pasangan warga masyarakat Wonolelo yang akan melangsungkan perkawinan. Bagi pihak yang bersangkutan harus membawa bibit pohon jati dan menanamnya, jumlah bibit pohon jati yang ditanam berjumlah 20 bibit. Dan ketika mereka melakukan hubungan suami-istri, mereka harus menanam bibit pohon jati kembali. Makna yang dikandung dalam aktivitas budaya masyarakat ini selain guna modal bagi keluarga sendiri sebagai jaminan sosial untuk kehidupan jangka panjang. Nilai yang terpenting dalam aktivitas budaya masyarakat Wonolelo adalah pemanfaatan lahan masyarakat yang dapat memberi kemanfaatan bagi masyarakat pula. Disisi lain adalah usaha melakukan penghijauan pada lahan yang masih kosong. Usaha penghijauan lingkungan ini dilakukan dengan aksi masyarakat langsung, dengan kata lain memberdayakan masyarakat. Disinilah kearifan kultural yang dimiliki masyarakat Wonolelo melalui peran Pesan Trend Ilmu Giri, dimana secara tidak langsung pelestarian lingkungan telah dilakukan. 

Di lereng gunung Merapi, wilayah Turi, Sleman, Yogyakarta, disana terdapat masyarakat yang damai dengan masyoritas menggantungkan kehidupan mereka kepada alam. Dengan demikian masyarakat harus tetap menjaga lingkungan untuk tetap dapat dimanfaatkan. Matapencaharian masyarakat mayoritas sebagai petani dan penambang pasir gunung. Disana terdapat seorang tokoh masyarakat dan seorang pastur, beliau biasa disebut Romo Yatno. Romo Yatno ini bersama tokoh-tokoh yang lain bersama-sama membangun masyarakat Turi untuk mengembangkan kehidupan mereka. Pada masyarakat Turi terdapat peraturan dimana setiap kali ada perkawinan di desa itu, pihak yang bersangkutan harus menanam lima pohon jati. 

Bang Idin mengelola bagian Kali Pasanggrahan di Pondok Cabe Udik, Banten, hingga Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Total wilayah yang ia kelola seluas 35 hektare, sepanjang 30 kilometer. Rekan-rekannya mengelola di bagian lain sungai ini. Pada tahun 1980-an, kondisi Kali Pasanggrahan saat itu 180 derajat dari kondisi saat ini. Dulu tempat ini dipenuhi sampah, bantarannya tak terurus, pinggirnya penuh pagar tinggi yang dibangun para juragan tanah. Juragan-juragan itu mengklaim bantaran kali itu milik mereka. Keprihatinan pun muncul di benak Bang Idin. Lelaki Betawi kelahiran 13 April 1956 ini tak lagi bisa memancing ikan seperti ketika masih kecil. Kata Bang Idin, kemajuan dan pembangunan telah merusak Kali Pasanggrahan dan Kali Cisadane. “Membangun itu jangan menentang alam, tapi melihat tabiat alam”. Pada awalnya Bang Idin dicemooh oleh warga sekitar kali. Bahkan, para juragan tanah dan polisi juga menghalang-halangani Bang Idin ketika menanami bantaran kali. Para juragan tanah itu mengaku bantaran kali adalah tanah mereka. Namun Bang Idin tak menyerah. “Ini memprotes dengan cara kearifan,” katanya. Akhirnya, pada tahun 1997 Bang Idin mendapat izin lisan dari para “pemilik” tanah bantaran kali untuk menghijaukan kembali. Mata air di sepanjang kali yang dulu mati hidup lagi berkat pepohonan. Mata air itu menjadi sumber air bersih bagi warga sekitar yang tak punya pompa air (http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4572&lang=).

Pada masyarakat Padang, disana terdapat hutan adat yang tidak boleh untuk diganggu untuk diambil kayunya maupun memburu hewannya. Cerita yang berkembang pada masyarakat Padang terhadap keberadaan hutan tersebut adalah terkit dengan mistik, dikatakan bahwa di hutan adat tersebut dihuni oleh arwah-arwah leluhur. Bukannya masyarakat sama sekali dilarang untuk mengambil hasil alam hutan, tetapi khusus untuk hutan adat memang dilarang. Jadi disana terdapat area hutan yang memang boleh untuk diambil potensinya, yaitu biasanya berada dibawah keberadaan hutan adat. Selain itu terdapat juga cerita mengenai makhluk halus atau jadi-jadian yang berasal dari hutan tersebut yang “turun gunung” karena tempatnya (hutan adat) diganggu, dan harus ada upacara guna membawa makhluk tersebut kembali. Hal ini dilakukan karena makhluk ini ketika “turun gunung” dapat dipastikan akan mengkhawatirkan masyarakat. 

Memang semua ini terkesan sangat tidak rasional, namun aktivitas budaya ini masih tetap dilaksankan. Nilai yang terkandung dalam aktivitas budaya tersebut sangat memiliki makna demi keberlanjutan kehidupan manusia masyarakat sekitarnya. Nilai yang dapat dilihat dari aktivitas budaya tersebut adalah tindakan pelestarian alam (hutan adat) yang berada di wilayah puncak gunung atau bukit. Hal ini secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tidak merusak alam berada di puncak gunung dan hanya boleh mengambil hasil hutan yang berada dibawahnya, itupun juga diatur melalui peraturan adat. Sehingga masyarakat telah melakukan pemanfaatan hasil hutan yang terencana dan mengandung upaya menjadi keberlanjutan lingkungan. 

Hutan lindung Wehea, Kabupaten Kutai Timur, Klimantan Timur ini dilindungi oleh aturan adat sekaligus dijaga oleh komunitas Wehea agar tidak dirusak. Komunias Wehea, mempunyai kuota jumlah yang boleh diburu atau diambil dari hutan. Berburu binatang hanya boleh untuk ritual adat dan mengambil tanaman hanya boleh untuk keperluan ramuan obat. Masyarakat sekitar boleh mengambil hasil hutan dengan seizin kepala adat di masing-masing desa. Pernah ada penebang kayu yang ditangkap. Penebang kayu tersebut didenda 10 juta rupiah dan gergaji mesinnya disita. Jika tidak mampu bayar, orang itu harus bekerja di kampung itu sampai utangnya dianggap lunas (Kompas edisi 7 Desember 2007). Dari peraturan adat yang diterapkan pada komunitas Wehea ini menyiratkan bahwa dalam memanfaatkan alam haruslah berdasarkan perencanaan yang baik. Kerusakan akan lingkungan merupakan hal yang paling ditanggulangi supaya hutan tetap mampu memberikan manfaat secara maksimal. 

Terlihat dari beberapa contoh penerapan kearifan kultural tersebut diatas, terlihat bahwa masyarakat jauh lebih menaati ketika hal itu langsung menyentuh kepercayaan mereka. Dalam hal ini berarti ketika masyarakat mampu memperoleh pemahaman secara tepat adalah tahap awal masyarakat untuk mengerti apa yang seharusnya memang dilakukan. Terkait dengan pelestarian alam, masyarakat sebenarnya telah diperkenalkan untuk selalu menjaga kemanfaatan alam dengan menjaga kelestarian limhkungan tersebut, namun memang tidak banyak masyarakat yang menyadari akan pesan yang tersirat didalamnya. Masyarakat melakukan aktivitas budaya tersebut karena terdapat semacam kepercayaan terhadap cerita yang ada pada aktivitas itu. Kepercayaan yang dimiliki masyarakat merupakan konstruksi yang terbentuk karena pengalaman sebelumnya, baik terkait dengan hal-hal yang tidak rasional (mistis) maupun sanksi adatnya. Dari beberapa contoh diatas merupakan sama-sama sebuah tindakan dalam mengupayakan masyarakat untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan serta memperbaiki lingkungan yang mulai mengalami kerusakan.



Peran Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Lingkungan Sebagai Upaya Mengurangi Efek Pemanasan Global

Issue Global Warming sangat terkait dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Perubahan yang dapat ditimbulkan dari efek pemanasan global meliputi pencairan gunung es berakibat meningkatnya debit air dunia hingga perubahan iklim. Teknologi yang tidak ramah lingkungan dan modernisasi memberikan kontribusi besar dalam kerusakan lingkungan serta menimbulkan global warming. Konstruksi masyarakat sekarang ini menyebabkan masyarakat sulit lepas dari teknologi. Selain itu aktivitas manusia yang semakin kompleks memaksa manusia harus menggunakan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi transportasi ini yang nantinya akan menyokong pula terciptanya polusi udara. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pengetahuan manusia masih dapat dikatakan belum baik, terutama kesadaran terhadap penyebab dan dampak dari kerusakan lingkungan. Pemanfaatan teknologi yang sangat tinggi ini tidak diiringi dengan bekal pengetahuan, informasi maupun pendidikan masyarakat. Tak pelak bahwa kesadaran masyarakat dalam pemanfaatannya kurang melihat aspek wawasan lingkungan.

Lingkungan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat adalah organisasi kelompok manusia yang memiliki kebudayaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Budaya dan kesadaran measyarakat dalam melestarikan lingkungan harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Bukan hanya budaya sebagai fungsi guna mempertahankan diri, tetapi juga memperhatikan kembali bagaimana mampu menjaga kelestarian lingkungan yang baik. Kearifan lokal masih menjadi salah satu potensi masyarakat Indonesia yang dapat dikembangkan kembali, disini dalam konteks pelestarian lingkungan sebagai upaya memperbaiki lingkungan. Kearifan lokal ini seringkali terlupakan oleh seluruh institusi formal yang berupaya mentransformasikan pemahaman akan lingkungan kepada masyarakat. Padahal pada masyarakat sendiri mempunyai skema dalam memperoleh pemahaman atas sesuatu, termasuk pelestarian terhadap alam.

Eksploitasi sumber daya alam tidak melihat keberlanjutan dari alam atau lingkungan itu sendiri. Demi mencapai keuntungan yang maksimal, pengeksploitasi tidak mau tahu apa yang akan terjadi dengan lingkungan dan dampak yang mungkin dapat ditimbulkan. Kehidupan yang semakin modern memberikan kontribusi besar bagi terjadinya global warming. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_ global). 

Cara paling sederhana dan paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Nampak jelas bahwa pelestarian lingkungan menjadi cara yang paling dekat dengan manusia. Dengan demikian tidak ada alasan lagi tindakan pesestarian lingkungan tidak dilakukan. Walaupun harus dimulai dari lingkup yang kecil, namun itu sebuah tindakan nyata. Gerakan untuk penanaman kembali pohon-pohon dan memperbaiki lingkungan yang mulai rusak atau tercemar harus menjadi prioritas.

Setiap masyarakat memiliki karakteristik yang belum tentu sama dengan masyarakat lainnya. Kebudayaan masyarakat terbentuk melalui proses yang sangat panjang. Proses tersebut tidak terlepas dari masyarakatnya, terutama faktor lingkungan tempat hidup memberi pengaruh dominan. Banyak pengetahuan lokal yang seharusnya sangat efektif dalam memberi penjelasan kepada masyarakat terhadap kehidupan dan lingkungan. Pesan yang dibawa oleh mitos ataupun aktivitas budaya masyarakat setempat memang tidak semuanya memiliki rasional yang relevan. Namun, ketika budaya tersebut terkait dengan lingkungan alam, yang dapat ditemukan bahwa pesan atas penghargaan alam secara tersirat sebenarnya telah disampaikan kepada masyarakat. 

Dalam masyarakat telah terendap kebudayaan (acuan anggota masyarakat dalam bersikap dan bertingkah laku), struktur sosial (bentuk interaksi antaranggota masyarakt), dan kepribadian (karakteristik individu dalam memberi respon kepada individu lain). Kelestarian nilai-nilai kultural antara lain dapat diidentifikasi dari keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara ‘siklus kehidupan’ yang terkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian (Usman, 2004:259-260).

Aktivitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat memiliki tempat tersendiri dan kemudian memberi pemahaman secara tepat kepada masyarakat. Banyak pengalaman bahwa melalui kearifan lokal atau kearifan kultural pesan terhadap kelestarian alam dapat tersampaikan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak. Berbicara lingkup, memang kearifan lokal bukan berada pada area wilayah yang luas, namun setiap masyarakat mempunyai kearifan kultural sendiri-sendiri. Kearifan kultural ini dapat dikembangkan oleh masyarakat tersebut untuk menyampaikan pesan efektif kepada masyarakat. Masyarakat lebih disatukan oleh aspek kulturalnya yaitu bagaimana masyarakat tersebut menyikapi kahidupannya. Maka melalui pendekatan budaya pula, seharusnya sosialisasi kepada masyarakat disampaikan. Kearifan kultural bukan hanya terdapat pada wilayah tertentu saja, melainkan kearifan kultural ini hanya memiliki jenis yang berbeda pada setiap wilayah. Sehingga pengembangan kearifan kultural sesuai karakteristik lokal guna upaya pelestarian lingkungan demi mancapai kehidupan lebih baik, serta mampu mengurangi dampak global warming dapat dilakukan. 

Disisi lain, sekarang ini mulai ditinggalkannya aktivitas budaya masyarakat. Hal ini dikarenakan dianggapnya aktivitas budaya tersebut tidak lagi relevan dengan masa sekarang ini. Mitos yang berkembang pun mulai dilupakan tanpa mengerti makna yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Gaya hidup modern memberi kontribusi dalam mengubah pola pikir masyarakat yang mayoritas berorientasi ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan. Kemudian mulai teralienasinya aktivitas budaya masyarakat dan pada suatu waktu nanti akan menghilang. Komersialisasi pemanfaatan hutan yang menimbulkan konflik dengan tanah hak ulayat merupakan salah satu penyebab memudarnya kearifan yang dimiliki. Seharusnya memiliki perencanaan yang baik tanpa menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Kemudian ruang budaya dalam menjaga maupun pengembangan kearifan yang ada juga merupakan salah satu yang harus diperhatikan. 

Pemerintah sebagai pihak yang paling berwewenang dalam mengatur segala kehidupan masyarakat, memang bukan suatu pekerjaan mudah. Dalam upaya mengurangi efek global warming sangat jelas diperlukan seluruh elemen masyarakat, dimana tidak hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga sektor industri. Semua itu membutuhkan komitmen kuat dalam upaya pelestarian lingkungan. Tidak ada sesuatu yang salah ketika pemerintah mengupayakan kearifan lokal sebagai sarana sosialisasi terhadap signifikasi pelestarian lingkungan pada masyarakat. Dengan demikian, pemerintah pun juga melakukan upaya memelihara kebudayaan bangsa. 

Peran kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan merupakan salah satu upaya tepat dalam pelestarian maupun memperbaiki lingkungan. Melalui aktivitas budaya, seperti yang dilakukan di Pondok Pesan Trend Ilmu Giri Imogiri, Bantul, Yogyakarta; Dusun Turgo Sleman Yogyakarta; Bang Idin dengan konservasi kali Pasanggrahan; dan peraturan adat pemanfaatan hutan Komunitas Wehea Kutai Timur. Di Pesan Trend Ilmu Giri dan Dusun Turgo Sleman, mempunyai aktivitas budaya yang hampir sama, yaitu ketika akan ada pernikahan maka yang bersangkutan harus menanam bibit pohon jati. Letak perbedaan kedua tempat tersebut adalah jumlah bibit yang ditanam, dimana Pesan Trend Ilmu Giri berjumlah 20 bibit, sedangkan Dusun Turgo hanya 5 bibit. Bang Idin pada awalnya ditentang oleh banyak pihak, namun dengan niatan “membangun itu jangan menentang alam, tapi melihat tabiat alam”, maka upayanya berhasil dan memberikan teladan bagi banyak pihak. 

Melalui kearifan lokal yang sesuai dengan masyarakat, dimana mampu secara langsung maupun tidak langsung menyampaikan pesan atas pelestarian lingkungan. Maka pembangunan lingkungan yang mampu dimanfaatkan secara berkelanjutan akan mampu tercapai. Dengan demikian manusia akan dapat bersahabat dengan lingkungan, serta lingkungan akan memberikan kebermanfaatannya yang akan mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pelestarian lingkungan melalui kearifan lokal memang berasal dari lingkup yang kecil, namun hal itu bukan suatu alasan untuk membatasi perkembangannya. Dari lingkup yang kecil ini akan memberikan stimulan pada lingkup-lingkup masyarakat yang lain sehingga masyarakat lain pun diberi sosialisasi nyata.