Minggu, 16 Maret 2008

Perdebatan Metodologi dalam Ilmu Sosial

Unifikasi Science dan Humaniora: Sebuah Cita-Cita
Juergen Habermas, pengarang Zur Logik der Sozialwissensshaften, dimana bermaksud menentang pembagian kerja antara ilmu pengetahuan alam (Naturwissenchaften) dan humaniora (Geisteswisstenschaften) dengan melakukan rekonstruksi merodologis melalui ro go beyond neo-Kantian epistemology. Menurut Habermas ridak perlu ada pemisahan secara tegas antara logika ilmu (science) dan logika humaniora. Kedua logika tersebut dapat dimanfaat dan saling memberikan keuntungan jika diterapkan dalam memahami realitas sosial. Kekhawatiran Habermas atas pertentangan kedua logika diatas bukanlah ide orisinalnya, lebih tepat disebut “Kant jaman akhir” yang merekonstruksi ide filosof sebelumnya. Jika dilihat kebelakang Max Weber telah memulai perdebatan metode mengenai disiplin ilmu ekonomi, yang berupaya memberikan jawaban atas pertanyaan apakah ilmu ekonomi termasuk nomologi atau ideografis, dimana selain memiliki aspek matematis juga dimensi histories. Hingga sekarang perdebatan yang terjadi adalah perdebatan faham ekonometrik dengan ekonomi berwawasan social-budaya.
Weber tidak pernah menekankan bahwa metode penelitian yang dia gunakan adalah verstehen, tapi juga erklaren. Verstehen merupakan suatu modifikasi cara interpretasi atas teks, sedangkan erklaren merupakan penjelasan gejala social dengan melihat kausalitas. Weber telah memunculkan spirit “to brings the methods of natural science dan humanities under one roof”. Dalam perkembangan Teori Sosiologi Kontemporer, Weber dianggap mempromosikan pendekatan verstehen, dimana dianggap sebagai ahli sosiologi yang memberi sumbangan dalam interpretasi realitas social, bukan analisis.

Tahun 1970-an perdebatan logika penelitian didominasi oleh positivisme, seperti Thomas Khun yang karyanya menegaskan keberadaan ilmu pengetahuan alam daripada humaniora. Habermas berupaya menentang hegemoni positivisme yang menjelma diberbagai dominasi konsep empiris analitis dalam ilmu social dengan menunjukkan pentingnya mengembangkan text interpreting humanities dalam studi social dan kemanusiaan. Memahami, membela dan mengkritik menjadi hal penting dalam perkembangan Teori Kritis Habermas, dimana mampu meningkatkan peran verstehen dan mengurangi hegemoni positivisme pada batas proporsional. Disini pemikiran Weber telah disempurnakan Habermas tidak hanya memiliki 2 metode, yaitu alam dan humaniora, tetapi dikembangkan juga pendekatan psikoanalisis yaitu metodologi refleksi diri.

Perselisihan Metode dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Jerman
Weber menekankan sosiolog harus memiliki wawasan histori, artinya tanpa memahami sejarah maka tak akan mampu menangkap makna dari sebuah dinamika budaya. Sehingga dalam penelitian sosial harus menyajikan sejarah yang memicunya hingga berkembang perselisihan metodologi tersebut. Dominasi positivisme telah berlangsung sejak abad 18-an. Kaum positivis menanggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan melalui ilmu alam berdasar logika alam, dimana pengetahuan yang tidak didasarkan ilmu alam bukan dianggap sebagai ilmu. Jika ilmu social-budaya ingin dianggap ilmu harus mengadopsi ilmu alam. Pernyataan tersebut menjadi perdebatan panjang bermula di Jerman dan menyebar ke Eropa dan Amerika, disebut Methodenstreit. Beberapa pemikir Jerman mencoba membebaskan dominasi positivisme dengan memberikan pendasaran baru.

Perselisihan metode diawali perdebatan disiplin ilmu ekonomi antara Gustav Schmoller dan Carl Menger tahun 1870-an dan 1880-an, yaitu apakah ilmu ekonomi harus berdasar pada metode “eksakta” atau “histories”, metode “abstrak” atau “empiris”, dan metode “deduktif” atau “induktif”. Dengan kata lain, apakah termasuk nomotetik (pengetahuan yang mencari keteraturan) atau ideografik (pengetahuan yang menyoroti gejala individual dan historis). Menurut Ricket dan Windelband membedakan ilmu nomotetik berdasar metode ilmu alam dan ideografik berdasar humaniora. Max Weber menolak epistemologis diatas dan tidak pula menyetujuinya. Dalam dilema metodologisnya bahwa ilmu social bebas nilai, tetapi juga menegaskan relevansi nilai dalam memahami gejala social. Selain itu juga menegaskan bahwa ilmu social mengambil alih ilmu alam, sehingga mengusulkan metode erklaeren dan juga menggunakan metode verstehen. Inilah sikap dualisme yang berupaya meletakkan landasan epistemologis to go beyond neo-kantian. Perdebaran metode ilmu ekonomi didominasi oleh positivisme, dimana ilmu ekonomi mensejajarkan diri dengan ilmu alam. Hal ini bukan hanya kehebatan paradigma yang bersangkutan tapi karena dukungan komunitas ilmiah.

Begitu pula terjadi pada ilmu sosiologi, dimana untuk dikatakan ilmu, sosiologi harus mengadopsi cara berpikir matematis dalam metode penelitiannya. Maka timbul hegemoni positivisme yaitu adanya logika survey dan statistis dalam analisis. Dominasi positivisme ini mendapat tentangan keras dari Habermas yang mengakui kehebatan positivisme sekaligus meletakkannya pada porsi ilmu-ilmu social. Dengan teori kritis dan metode refleki diri telah berhasil memetakan persoalan mendasar dalam sosiologi dengan cara memberikan pendasaran epistemologi dan metodologi.

Kekuasaan Pembangunan, Logika Positivis dan Hegemoni (Metode Sosial)
Penelitian social dan pembangunan adalah hal yang terkait, dimana penelitian sebagai sarana control pembangunan, tapi di Indonesia hanya sebagai legitimasi pembangunan semata. Sehingga sangat deterministic terhadap kegiatan akademik dan kurang akomodatif. Hal diatas berupaya mendiskusikan metode-metode penelitian alternatif yang relevan dalam pembangunan dimasa depan. Konsep pembangunan diyakini sebagai cara menyelesaikan masalah kemiskinan, buta huruf, kekumuhan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dll. Bahkan para kritisi menyebutnya mitos. Perbincangan mengarah pada bidang akademik untuk menentukan kearah mana harus berjalan. Target pembangunan menentukan pemilihan dan penggunaan metode penelitian yang relevan.

Hubungan antara proses pencapaian target pada PJPT I dan metode empiris-analitis kiranya lebih mengutamakan hubungan ideologis, sebab keduanya menyembunyikan kepentingan yang sama, yaitu kepentingan teknis. Hal ini dilakukan untuk memprediksi jalannya transformasi sosial. Melalui kontrol politik, masyarakat direkayasa supaya target pembangunan menjadi kenyataan. Disisi lain, peneliti berpikir deduktif dalam mengevaluasi jalannya pembangunan. Pengetahuan teoritis yang dipakai untuk mengandaikan realita diturunkan dalam bentuk hipotesis dan instrumentasi untuk melakukan cek empiris. Dengan bantuan feed back monitoring suatu tes empiris akan menstranfer balik falsifikasi kepada hipotesis. Keunggulan metode ini adalah memberikan generalisasi dan prediksi.

Model pembangunan dan penelitian diatas cenderung memahami manusia hanya sebagai obyek statis yang dapat dimanipulasi. Habermas menyebutnya dengan tindakan “sok bersifat ilmiah”, jika hanya diukur dari angka pertumbuhan sekedar didasarkan pada abstraksi teoritis, mampukah keduanya merumuskan “standar hidup berkecukupan”. Namun prestasi Orde Baru dalam merealisasikan target PJPT I menunjukkan hasil yang berarti, namun kesuksesan tersebut perlu diperhitungkan, apakah pertumbuhan tersebut disertai demokratis? Karena kepentingan teknis metode empiris analitis maka kurang mampu melakukan refleksi atas perkembangan social. Pada PJPT II menitikberatkan pada kualitas manusia sebagai pusat pembangunan, maka metode haermeunetis dan kritis perlu diberi ruang gerak lebih lebar. metode haermeunetis dan kritis berusaha memahami manusia dari dimensi interaksi social budaya, baik horizontal dan vertical, dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologis dan struktur politik yang mengungkungnya.

metode haermeunetis dan kritis juga disebut metode interpretative, dimana memahami makna kebudayaan dan sejarah melalui ekspresi berbahasa. Dengan memahami ekspresi bahasa, metode hermeunetik berupaya mengungkap intensitas komunikasi social. Dalam keadaan komunikasi distortif, melalui pemahaman ekspresi bahasa dan interpretasi inter-subyektif akan mampu menguak berbagai bentuk perlawanan terselubung yang terjadi di masyarakat. Metode penelitian kritis berupaya mengungkap factor politis dan ideologis apa yang menjadi penghambat kmunikasi tersebut. Setiap metode saling terkait secara integrative juga terkait secara kritis sehingga dapat saling mengontrol. Penerapan seperti itu akn mencegah kecenderungan instrumentasi metode penelitian untuk sekadar dipakai sebagai alat legitimasi pembangunan masyarakat.
Catatan Penutup
Melihat realita politis di Indonesia, metodologi penelitian harus diajarkan secara komplit kepada mahasiswa dab tidak berat sebelah serta tidak bias positivistisme. Untuk itu harus dilaksanakan reformasi substansi metodologi penelitian, dimana taksonomi epistemology Habermas dapat digunakan sebagai acuan untuk pendidikan metodologis. Tanpa memahami perdebatan metodologi yang terjadi sebelumnya seorang mahasiswa dapat keliru dalam memilih metode penelitian sehingga hasil penelitian menjadi kehilangan relevansi. Berdasar taksonomi Habermas, metode penelitian social mencakup substansi Metode Penelitian Sosial (MPS), Metode Penelitian Kuantitatif, Metode Penelitian Kualitatif dan Statistik Sosial.
(Resume buku Menumbuhkan Ide-Ide Kritis )

Tidak ada komentar: