Minggu, 16 Maret 2008

ekspansi Jepang dan refleksi konsumsi simbolis

Dimasa sekarang ini, masyarakat telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan, yaitu kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi. Satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah kegiatan nasional akan semakin erat dengan perkembangan internasional (Usman, 2004:3). Semakin tipisnya batas-batas administrasi negara satu dengan negara lain saat ini menyebabkan kontrol terhadap pengaruh luar menjadi sangat kecil pula. Barang-barang impor merajai pasar dalam negeri serta tidak hanya merusak bargaining produk lokal, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Kasus di Indonesia, kondisi seperti demikian dapat memunculkan suatu ketergantungan masyarakat terhadap barang-barang impor yang tidak dimiliki negara Indonesia. Jepang merupakan salah satu negara pengekspor terbesar di Indonesia dan menguasai pasar di Indonesia, seperti teknologi elektronik dan transportasi.

Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, dimana kehadirannya dapat dilihat dikalangan penduduk sekarang ini, yang dapat dikatakan lebih modern. Kemajuan penduduk sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi teknologi yang semakin berkembang dan canggih. Hampir setiap aspek kebutuhan, sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari intervensi teknologi. Melihat hal diatas, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis. Dalam kecenderungan ini identitas dan subjektifitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun masalah nasionalisme (Feathersone dalam Abdullah, 2006:29). Kondisi diatas memicu kemungkinan bahwa basis materi telah menjadi dasar pendefinisian diri dan pembentukan identitas kota (baru), dalam artian kehidupan yang lebih modern, dimana secara langsung tampak dalam gaya hidup. Sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Motor atau kendaraan bukan lagi menjadi suatu barang yang eksklusif, karena hampir setiap penduduk memilikinya. Hanya saja dengan perkembangan teknologi transportasi, sekarang ini bukan lagi kepemilikan kendaraannya, melainkan yang membedakan adalah tipe kendaraan yang dimiliki penduduk tersebut. Semakin terbaru dan mewah menunjukkan pemaknaan terhadap stratifikasi kelas bahwa mereka termasuk dalam status sosial yang tinggi.

Proses konsumsi seperti konsumsi perumahan dan barang-barang berteknologi canggih dalam pemenuhan kebutuhan merupakan instrumen yang cukup signifikan untuk menjelaskan hidup. Tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas (Douglas dan Isherwood, 1980) yang didasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi (Goffman, 1951). Cara-cara masyarakat menggunakan barang untuk membangun batas sosial merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan pada abad selanjutnya. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya kehidupan yang lebih modern sebagai bagian dari tatanan ekonomi internasional (Abdullah, 2006:33). Pada masa sekarang ini pemenuhan kebutuhan, seperti transportasi dan barang elektronik menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemenuhan kebutuhan tidak lagi didasarkan pada nilai kegunaan barang konsumsi, tetapi lebih dari itu bahwa pemenuhan kebutuhan atas barang tersebut digunakan pula sebagai refleksi kelas sosial dan bagian dari life style. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah bahwa proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang paling besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional. Produk Jepang yang sangat canggih menjadi sebuah cerminan bahwa strata sosial yang dibentuk oleh penggunaan produksi Jepang merefleksikan tingkat sosial consumer.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan yang lebih canggih, modern dan yang terbaru bisa menjadi salah satu cara dalam melakukan mobilisasi vertikal. Terkait dengan hal sebelumnya, dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah mebedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Nilai simbolis dalam konsumsi pun tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar justru menegaskan kolektivitas, walaupun dalam bentuk identitas komunal yang berbaga hidup berbeda. Orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semula terbentuk telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik tiap kelompok. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari eksistensi. Hal ini berkaitan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar asesoris, tetapi barang-barang itu merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi suatu proses konsumsi yang penting, dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian, makanan atau barang lainnya) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Dari kelompok kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self) (Abdullah, 2006:33-34).

Dengan demikian masuknya barang-barang elektronik dan teknologi transportasi serta barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya memberi peluang bagi penduduk Indonesia untuk mengakses barang-barang tersebut. Masuknya barang berteknologi canggih pada awalnya dianggap sangat biasa, namun teknologi canggih pun terus mengalami perkembangan sehingga teknologi keluaran terbaru dan biasanya lebih canggih dari sebelumnya inilah yang akan memiliki nilai dan citra yang lebih tinggi pula. Sekarang ini barang impor dari Jepang menjadi penguasa pasar, terutama sarana transportasi, baik motor atau kendaraan, mobil hingga mobil angkutan. Selain itu Jepang juga memproduksi barang-barang elektronik dengan kualitas nomor wahid dan cukup memiliki tempat di pasaran Indonesia. Hal ini seiring dengan kebutuhan penduduk atas barang-barang tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, dimana terkait dengan waktu yang semakin kompetitif. Sarana transportasi misalnya, sudah banyak penduduk memilikinya, namun yang lebih terbarulah yang merefleksikan berada diposisi mana pemiliknya. Dari sisi eksistensi, penduduk berlomba-lomba memenuhi kebutuhan namun tidak sekedar melihat kegunaan saja melainkan fungsi konsumsi simbolis pun menjadi determinan penting. Keadaan ini dapat dilihat dengan semakin tingginya permintaan kendaraan di Indonesia. Berdasakan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan sepanjang Januari hingga Juni 2007 mencapai 197.642 unit. Jika dibandingkan dengan penjualan periode yang sama tahun 2006 yang sebesar 149.632 unit terjadi peningkatan penjualan sebesar 32 %. Produksi Jepang masih menjadi pilihan utama bagi penduduk Indonesia, misalnya Yamaha, Suzuki dan Honda. Begitu pula merek mobil yang beredar di Indonesia, penjualan masih didominasi oleh pabrikan mobil Jepang, seperti Suzuki, Mitshubisi, Daihatsu dan Honda (www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/16/teropong/lainnya03. htm). Penjualan barang elektronik di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 21 % dengan nilai total Rp. 14 Triliun, naik dari angka tahun lalu sebesar Rp. 12 Triliun. (Antara, Senin 10/12/02 dalam http:/indotradeinvestment.blogspot.com). Dan pabrikan Jepang pun masih sangat diminati.

Keadaan diatas sangat jelas menunjukkan bagaimana konstruksi pasar yang dibentuk oleh ekspansi pasar Jepang sangat kuat di Indonesia. Citra barang Jepang menjadi refleksi tersendiri terhadap kepentingan mobilitas vertikal guna menjaga eksistensi seseorang pada suatu lingkungan. Indikasi peningkatan permintaan bukan semata-mata disebabkan membaiknya kondisi ekonomi (makro) negara Indonesia, malainkan sangat bervariasi faktor yang mendorong terjadi hal tersebut. Semua determinan cukup kompleks dan saling mendukung, serta faktor pemenuhan konsumsi simbolik didorong pula oleh berbagai keadaan yang memberi peluang untuk memenuhi kebutuhan, bukan sekedar berdasar fungsional. Namun keinginan untuk menjaga eksistensi dan mengikuti lingkungan menjadi faktor yang harus diperhatikan. Hal ini terkait bagaimana sifat dasar manusia yang selalu ingin menaikkan posisinya secara sosial pada posisi yang lebih baik, atau dengan kata lain sifat manusia yang selalu melakukan mobilitas vertikal terhadap hidupnya.

Tidak ada komentar: