Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Januari 2009

Penerapan local (cultural) wisdom guna melestarikan lingkungan


Penerapan kearifan lokal dianggap mempunyai tempat tersendiri bagi masyarakat karena muncul dari kesadaran masyarakat sendiri untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan. Penerapan kearifan kultural dilakukan di Bantul, Yogyakarta yaitu di pondok Pesan Trend Ilmu Giri Imogiri. Pondok pesantren ini merupakan pondok pesantren masyarakat, dimana seluruh masyarakatnya merupakan santri-santrinya. Ikatan kebudayaan yang nampak pada Pesan Trend Ilmu Giri dapat dikatakan cukup kental. Cara penyampaian pesan keagamaan kepada masyarakat pun banyak yang melalui kearifan lokal yang dimilki masyarakat disana. Selain ilmu religi, pesantren ini juga berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan mamnfaatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh lingkungan dan masyarakatnya. Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri yaitu HM. Nasruddin Anshoriy Ch merupakan tokoh masyarakat yang memiliki peran cukup sentral.

Pada pondok Pesan Trend Ilmu Giri ini mempunyai kebiasaan masyarakat yaitu terdapat kewajiban menanam pohon jati. Menanam pohon jati ini dilakukan ketika terdapat pasangan warga masyarakat Wonolelo yang akan melangsungkan perkawinan. Bagi pihak yang bersangkutan harus membawa bibit pohon jati dan menanamnya, jumlah bibit pohon jati yang ditanam berjumlah 20 bibit. Dan ketika mereka melakukan hubungan suami-istri, mereka harus menanam bibit pohon jati kembali. Makna yang dikandung dalam aktivitas budaya masyarakat ini selain guna modal bagi keluarga sendiri sebagai jaminan sosial untuk kehidupan jangka panjang. Nilai yang terpenting dalam aktivitas budaya masyarakat Wonolelo adalah pemanfaatan lahan masyarakat yang dapat memberi kemanfaatan bagi masyarakat pula. Disisi lain adalah usaha melakukan penghijauan pada lahan yang masih kosong. Usaha penghijauan lingkungan ini dilakukan dengan aksi masyarakat langsung, dengan kata lain memberdayakan masyarakat. Disinilah kearifan kultural yang dimiliki masyarakat Wonolelo melalui peran Pesan Trend Ilmu Giri, dimana secara tidak langsung pelestarian lingkungan telah dilakukan. 

Di lereng gunung Merapi, wilayah Turi, Sleman, Yogyakarta, disana terdapat masyarakat yang damai dengan masyoritas menggantungkan kehidupan mereka kepada alam. Dengan demikian masyarakat harus tetap menjaga lingkungan untuk tetap dapat dimanfaatkan. Matapencaharian masyarakat mayoritas sebagai petani dan penambang pasir gunung. Disana terdapat seorang tokoh masyarakat dan seorang pastur, beliau biasa disebut Romo Yatno. Romo Yatno ini bersama tokoh-tokoh yang lain bersama-sama membangun masyarakat Turi untuk mengembangkan kehidupan mereka. Pada masyarakat Turi terdapat peraturan dimana setiap kali ada perkawinan di desa itu, pihak yang bersangkutan harus menanam lima pohon jati. 

Bang Idin mengelola bagian Kali Pasanggrahan di Pondok Cabe Udik, Banten, hingga Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Total wilayah yang ia kelola seluas 35 hektare, sepanjang 30 kilometer. Rekan-rekannya mengelola di bagian lain sungai ini. Pada tahun 1980-an, kondisi Kali Pasanggrahan saat itu 180 derajat dari kondisi saat ini. Dulu tempat ini dipenuhi sampah, bantarannya tak terurus, pinggirnya penuh pagar tinggi yang dibangun para juragan tanah. Juragan-juragan itu mengklaim bantaran kali itu milik mereka. Keprihatinan pun muncul di benak Bang Idin. Lelaki Betawi kelahiran 13 April 1956 ini tak lagi bisa memancing ikan seperti ketika masih kecil. Kata Bang Idin, kemajuan dan pembangunan telah merusak Kali Pasanggrahan dan Kali Cisadane. “Membangun itu jangan menentang alam, tapi melihat tabiat alam”. Pada awalnya Bang Idin dicemooh oleh warga sekitar kali. Bahkan, para juragan tanah dan polisi juga menghalang-halangani Bang Idin ketika menanami bantaran kali. Para juragan tanah itu mengaku bantaran kali adalah tanah mereka. Namun Bang Idin tak menyerah. “Ini memprotes dengan cara kearifan,” katanya. Akhirnya, pada tahun 1997 Bang Idin mendapat izin lisan dari para “pemilik” tanah bantaran kali untuk menghijaukan kembali. Mata air di sepanjang kali yang dulu mati hidup lagi berkat pepohonan. Mata air itu menjadi sumber air bersih bagi warga sekitar yang tak punya pompa air (http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4572&lang=).

Pada masyarakat Padang, disana terdapat hutan adat yang tidak boleh untuk diganggu untuk diambil kayunya maupun memburu hewannya. Cerita yang berkembang pada masyarakat Padang terhadap keberadaan hutan tersebut adalah terkit dengan mistik, dikatakan bahwa di hutan adat tersebut dihuni oleh arwah-arwah leluhur. Bukannya masyarakat sama sekali dilarang untuk mengambil hasil alam hutan, tetapi khusus untuk hutan adat memang dilarang. Jadi disana terdapat area hutan yang memang boleh untuk diambil potensinya, yaitu biasanya berada dibawah keberadaan hutan adat. Selain itu terdapat juga cerita mengenai makhluk halus atau jadi-jadian yang berasal dari hutan tersebut yang “turun gunung” karena tempatnya (hutan adat) diganggu, dan harus ada upacara guna membawa makhluk tersebut kembali. Hal ini dilakukan karena makhluk ini ketika “turun gunung” dapat dipastikan akan mengkhawatirkan masyarakat. 

Memang semua ini terkesan sangat tidak rasional, namun aktivitas budaya ini masih tetap dilaksankan. Nilai yang terkandung dalam aktivitas budaya tersebut sangat memiliki makna demi keberlanjutan kehidupan manusia masyarakat sekitarnya. Nilai yang dapat dilihat dari aktivitas budaya tersebut adalah tindakan pelestarian alam (hutan adat) yang berada di wilayah puncak gunung atau bukit. Hal ini secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tidak merusak alam berada di puncak gunung dan hanya boleh mengambil hasil hutan yang berada dibawahnya, itupun juga diatur melalui peraturan adat. Sehingga masyarakat telah melakukan pemanfaatan hasil hutan yang terencana dan mengandung upaya menjadi keberlanjutan lingkungan. 

Hutan lindung Wehea, Kabupaten Kutai Timur, Klimantan Timur ini dilindungi oleh aturan adat sekaligus dijaga oleh komunitas Wehea agar tidak dirusak. Komunias Wehea, mempunyai kuota jumlah yang boleh diburu atau diambil dari hutan. Berburu binatang hanya boleh untuk ritual adat dan mengambil tanaman hanya boleh untuk keperluan ramuan obat. Masyarakat sekitar boleh mengambil hasil hutan dengan seizin kepala adat di masing-masing desa. Pernah ada penebang kayu yang ditangkap. Penebang kayu tersebut didenda 10 juta rupiah dan gergaji mesinnya disita. Jika tidak mampu bayar, orang itu harus bekerja di kampung itu sampai utangnya dianggap lunas (Kompas edisi 7 Desember 2007). Dari peraturan adat yang diterapkan pada komunitas Wehea ini menyiratkan bahwa dalam memanfaatkan alam haruslah berdasarkan perencanaan yang baik. Kerusakan akan lingkungan merupakan hal yang paling ditanggulangi supaya hutan tetap mampu memberikan manfaat secara maksimal. 

Terlihat dari beberapa contoh penerapan kearifan kultural tersebut diatas, terlihat bahwa masyarakat jauh lebih menaati ketika hal itu langsung menyentuh kepercayaan mereka. Dalam hal ini berarti ketika masyarakat mampu memperoleh pemahaman secara tepat adalah tahap awal masyarakat untuk mengerti apa yang seharusnya memang dilakukan. Terkait dengan pelestarian alam, masyarakat sebenarnya telah diperkenalkan untuk selalu menjaga kemanfaatan alam dengan menjaga kelestarian limhkungan tersebut, namun memang tidak banyak masyarakat yang menyadari akan pesan yang tersirat didalamnya. Masyarakat melakukan aktivitas budaya tersebut karena terdapat semacam kepercayaan terhadap cerita yang ada pada aktivitas itu. Kepercayaan yang dimiliki masyarakat merupakan konstruksi yang terbentuk karena pengalaman sebelumnya, baik terkait dengan hal-hal yang tidak rasional (mistis) maupun sanksi adatnya. Dari beberapa contoh diatas merupakan sama-sama sebuah tindakan dalam mengupayakan masyarakat untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan serta memperbaiki lingkungan yang mulai mengalami kerusakan.



Peran Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Lingkungan Sebagai Upaya Mengurangi Efek Pemanasan Global

Issue Global Warming sangat terkait dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Perubahan yang dapat ditimbulkan dari efek pemanasan global meliputi pencairan gunung es berakibat meningkatnya debit air dunia hingga perubahan iklim. Teknologi yang tidak ramah lingkungan dan modernisasi memberikan kontribusi besar dalam kerusakan lingkungan serta menimbulkan global warming. Konstruksi masyarakat sekarang ini menyebabkan masyarakat sulit lepas dari teknologi. Selain itu aktivitas manusia yang semakin kompleks memaksa manusia harus menggunakan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi transportasi ini yang nantinya akan menyokong pula terciptanya polusi udara. Selain itu juga tingkat pendidikan dan pengetahuan manusia masih dapat dikatakan belum baik, terutama kesadaran terhadap penyebab dan dampak dari kerusakan lingkungan. Pemanfaatan teknologi yang sangat tinggi ini tidak diiringi dengan bekal pengetahuan, informasi maupun pendidikan masyarakat. Tak pelak bahwa kesadaran masyarakat dalam pemanfaatannya kurang melihat aspek wawasan lingkungan.

Lingkungan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Masyarakat adalah organisasi kelompok manusia yang memiliki kebudayaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Budaya dan kesadaran measyarakat dalam melestarikan lingkungan harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Bukan hanya budaya sebagai fungsi guna mempertahankan diri, tetapi juga memperhatikan kembali bagaimana mampu menjaga kelestarian lingkungan yang baik. Kearifan lokal masih menjadi salah satu potensi masyarakat Indonesia yang dapat dikembangkan kembali, disini dalam konteks pelestarian lingkungan sebagai upaya memperbaiki lingkungan. Kearifan lokal ini seringkali terlupakan oleh seluruh institusi formal yang berupaya mentransformasikan pemahaman akan lingkungan kepada masyarakat. Padahal pada masyarakat sendiri mempunyai skema dalam memperoleh pemahaman atas sesuatu, termasuk pelestarian terhadap alam.

Eksploitasi sumber daya alam tidak melihat keberlanjutan dari alam atau lingkungan itu sendiri. Demi mencapai keuntungan yang maksimal, pengeksploitasi tidak mau tahu apa yang akan terjadi dengan lingkungan dan dampak yang mungkin dapat ditimbulkan. Kehidupan yang semakin modern memberikan kontribusi besar bagi terjadinya global warming. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_ global). 

Cara paling sederhana dan paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Nampak jelas bahwa pelestarian lingkungan menjadi cara yang paling dekat dengan manusia. Dengan demikian tidak ada alasan lagi tindakan pesestarian lingkungan tidak dilakukan. Walaupun harus dimulai dari lingkup yang kecil, namun itu sebuah tindakan nyata. Gerakan untuk penanaman kembali pohon-pohon dan memperbaiki lingkungan yang mulai rusak atau tercemar harus menjadi prioritas.

Setiap masyarakat memiliki karakteristik yang belum tentu sama dengan masyarakat lainnya. Kebudayaan masyarakat terbentuk melalui proses yang sangat panjang. Proses tersebut tidak terlepas dari masyarakatnya, terutama faktor lingkungan tempat hidup memberi pengaruh dominan. Banyak pengetahuan lokal yang seharusnya sangat efektif dalam memberi penjelasan kepada masyarakat terhadap kehidupan dan lingkungan. Pesan yang dibawa oleh mitos ataupun aktivitas budaya masyarakat setempat memang tidak semuanya memiliki rasional yang relevan. Namun, ketika budaya tersebut terkait dengan lingkungan alam, yang dapat ditemukan bahwa pesan atas penghargaan alam secara tersirat sebenarnya telah disampaikan kepada masyarakat. 

Dalam masyarakat telah terendap kebudayaan (acuan anggota masyarakat dalam bersikap dan bertingkah laku), struktur sosial (bentuk interaksi antaranggota masyarakt), dan kepribadian (karakteristik individu dalam memberi respon kepada individu lain). Kelestarian nilai-nilai kultural antara lain dapat diidentifikasi dari keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara ‘siklus kehidupan’ yang terkaitan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian (Usman, 2004:259-260).

Aktivitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat memiliki tempat tersendiri dan kemudian memberi pemahaman secara tepat kepada masyarakat. Banyak pengalaman bahwa melalui kearifan lokal atau kearifan kultural pesan terhadap kelestarian alam dapat tersampaikan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak. Berbicara lingkup, memang kearifan lokal bukan berada pada area wilayah yang luas, namun setiap masyarakat mempunyai kearifan kultural sendiri-sendiri. Kearifan kultural ini dapat dikembangkan oleh masyarakat tersebut untuk menyampaikan pesan efektif kepada masyarakat. Masyarakat lebih disatukan oleh aspek kulturalnya yaitu bagaimana masyarakat tersebut menyikapi kahidupannya. Maka melalui pendekatan budaya pula, seharusnya sosialisasi kepada masyarakat disampaikan. Kearifan kultural bukan hanya terdapat pada wilayah tertentu saja, melainkan kearifan kultural ini hanya memiliki jenis yang berbeda pada setiap wilayah. Sehingga pengembangan kearifan kultural sesuai karakteristik lokal guna upaya pelestarian lingkungan demi mancapai kehidupan lebih baik, serta mampu mengurangi dampak global warming dapat dilakukan. 

Disisi lain, sekarang ini mulai ditinggalkannya aktivitas budaya masyarakat. Hal ini dikarenakan dianggapnya aktivitas budaya tersebut tidak lagi relevan dengan masa sekarang ini. Mitos yang berkembang pun mulai dilupakan tanpa mengerti makna yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Gaya hidup modern memberi kontribusi dalam mengubah pola pikir masyarakat yang mayoritas berorientasi ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan. Kemudian mulai teralienasinya aktivitas budaya masyarakat dan pada suatu waktu nanti akan menghilang. Komersialisasi pemanfaatan hutan yang menimbulkan konflik dengan tanah hak ulayat merupakan salah satu penyebab memudarnya kearifan yang dimiliki. Seharusnya memiliki perencanaan yang baik tanpa menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Kemudian ruang budaya dalam menjaga maupun pengembangan kearifan yang ada juga merupakan salah satu yang harus diperhatikan. 

Pemerintah sebagai pihak yang paling berwewenang dalam mengatur segala kehidupan masyarakat, memang bukan suatu pekerjaan mudah. Dalam upaya mengurangi efek global warming sangat jelas diperlukan seluruh elemen masyarakat, dimana tidak hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga sektor industri. Semua itu membutuhkan komitmen kuat dalam upaya pelestarian lingkungan. Tidak ada sesuatu yang salah ketika pemerintah mengupayakan kearifan lokal sebagai sarana sosialisasi terhadap signifikasi pelestarian lingkungan pada masyarakat. Dengan demikian, pemerintah pun juga melakukan upaya memelihara kebudayaan bangsa. 

Peran kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan merupakan salah satu upaya tepat dalam pelestarian maupun memperbaiki lingkungan. Melalui aktivitas budaya, seperti yang dilakukan di Pondok Pesan Trend Ilmu Giri Imogiri, Bantul, Yogyakarta; Dusun Turgo Sleman Yogyakarta; Bang Idin dengan konservasi kali Pasanggrahan; dan peraturan adat pemanfaatan hutan Komunitas Wehea Kutai Timur. Di Pesan Trend Ilmu Giri dan Dusun Turgo Sleman, mempunyai aktivitas budaya yang hampir sama, yaitu ketika akan ada pernikahan maka yang bersangkutan harus menanam bibit pohon jati. Letak perbedaan kedua tempat tersebut adalah jumlah bibit yang ditanam, dimana Pesan Trend Ilmu Giri berjumlah 20 bibit, sedangkan Dusun Turgo hanya 5 bibit. Bang Idin pada awalnya ditentang oleh banyak pihak, namun dengan niatan “membangun itu jangan menentang alam, tapi melihat tabiat alam”, maka upayanya berhasil dan memberikan teladan bagi banyak pihak. 

Melalui kearifan lokal yang sesuai dengan masyarakat, dimana mampu secara langsung maupun tidak langsung menyampaikan pesan atas pelestarian lingkungan. Maka pembangunan lingkungan yang mampu dimanfaatkan secara berkelanjutan akan mampu tercapai. Dengan demikian manusia akan dapat bersahabat dengan lingkungan, serta lingkungan akan memberikan kebermanfaatannya yang akan mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pelestarian lingkungan melalui kearifan lokal memang berasal dari lingkup yang kecil, namun hal itu bukan suatu alasan untuk membatasi perkembangannya. Dari lingkup yang kecil ini akan memberikan stimulan pada lingkup-lingkup masyarakat yang lain sehingga masyarakat lain pun diberi sosialisasi nyata. 



Minggu, 16 Maret 2008

ekspansi Jepang dan refleksi konsumsi simbolis

Dimasa sekarang ini, masyarakat telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan, yaitu kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi. Satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah kegiatan nasional akan semakin erat dengan perkembangan internasional (Usman, 2004:3). Semakin tipisnya batas-batas administrasi negara satu dengan negara lain saat ini menyebabkan kontrol terhadap pengaruh luar menjadi sangat kecil pula. Barang-barang impor merajai pasar dalam negeri serta tidak hanya merusak bargaining produk lokal, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Kasus di Indonesia, kondisi seperti demikian dapat memunculkan suatu ketergantungan masyarakat terhadap barang-barang impor yang tidak dimiliki negara Indonesia. Jepang merupakan salah satu negara pengekspor terbesar di Indonesia dan menguasai pasar di Indonesia, seperti teknologi elektronik dan transportasi.

Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, dimana kehadirannya dapat dilihat dikalangan penduduk sekarang ini, yang dapat dikatakan lebih modern. Kemajuan penduduk sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari revolusi teknologi yang semakin berkembang dan canggih. Hampir setiap aspek kebutuhan, sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari intervensi teknologi. Melihat hal diatas, konsumsi merupakan faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis. Dalam kecenderungan ini identitas dan subjektifitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun masalah nasionalisme (Feathersone dalam Abdullah, 2006:29). Kondisi diatas memicu kemungkinan bahwa basis materi telah menjadi dasar pendefinisian diri dan pembentukan identitas kota (baru), dalam artian kehidupan yang lebih modern, dimana secara langsung tampak dalam gaya hidup. Sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi salah satu kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Motor atau kendaraan bukan lagi menjadi suatu barang yang eksklusif, karena hampir setiap penduduk memilikinya. Hanya saja dengan perkembangan teknologi transportasi, sekarang ini bukan lagi kepemilikan kendaraannya, melainkan yang membedakan adalah tipe kendaraan yang dimiliki penduduk tersebut. Semakin terbaru dan mewah menunjukkan pemaknaan terhadap stratifikasi kelas bahwa mereka termasuk dalam status sosial yang tinggi.

Proses konsumsi seperti konsumsi perumahan dan barang-barang berteknologi canggih dalam pemenuhan kebutuhan merupakan instrumen yang cukup signifikan untuk menjelaskan hidup. Tingkah laku konsumsi merupakan penanda identitas (Douglas dan Isherwood, 1980) yang didasarkan oleh asumsi bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi (Goffman, 1951). Cara-cara masyarakat menggunakan barang untuk membangun batas sosial merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan pada abad selanjutnya. Hal ini sejalan dengan tumbuhnya kehidupan yang lebih modern sebagai bagian dari tatanan ekonomi internasional (Abdullah, 2006:33). Pada masa sekarang ini pemenuhan kebutuhan, seperti transportasi dan barang elektronik menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemenuhan kebutuhan tidak lagi didasarkan pada nilai kegunaan barang konsumsi, tetapi lebih dari itu bahwa pemenuhan kebutuhan atas barang tersebut digunakan pula sebagai refleksi kelas sosial dan bagian dari life style. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah bahwa proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang paling besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan dan fungsional. Produk Jepang yang sangat canggih menjadi sebuah cerminan bahwa strata sosial yang dibentuk oleh penggunaan produksi Jepang merefleksikan tingkat sosial consumer.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan yang lebih canggih, modern dan yang terbaru bisa menjadi salah satu cara dalam melakukan mobilisasi vertikal. Terkait dengan hal sebelumnya, dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, kelas sosial telah mebedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang berbeda. Nilai simbolis dalam konsumsi pun tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar justru menegaskan kolektivitas, walaupun dalam bentuk identitas komunal yang berbaga hidup berbeda. Orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semula terbentuk telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik tiap kelompok. Kedua, barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari eksistensi. Hal ini berkaitan dengan aspek-aspek psikologis dimana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar asesoris, tetapi barang-barang itu merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat dilihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi suatu proses konsumsi yang penting, dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti pakaian, makanan atau barang lainnya) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Dari kelompok kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk (global) merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Proses identifikasi yang terwujud melalui proses konsumsi merupakan proses aktif di dalam konsumsi citra yang menyebabkan intensifikasi kesadaran kelas (the self) (Abdullah, 2006:33-34).

Dengan demikian masuknya barang-barang elektronik dan teknologi transportasi serta barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari lainnya memberi peluang bagi penduduk Indonesia untuk mengakses barang-barang tersebut. Masuknya barang berteknologi canggih pada awalnya dianggap sangat biasa, namun teknologi canggih pun terus mengalami perkembangan sehingga teknologi keluaran terbaru dan biasanya lebih canggih dari sebelumnya inilah yang akan memiliki nilai dan citra yang lebih tinggi pula. Sekarang ini barang impor dari Jepang menjadi penguasa pasar, terutama sarana transportasi, baik motor atau kendaraan, mobil hingga mobil angkutan. Selain itu Jepang juga memproduksi barang-barang elektronik dengan kualitas nomor wahid dan cukup memiliki tempat di pasaran Indonesia. Hal ini seiring dengan kebutuhan penduduk atas barang-barang tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, dimana terkait dengan waktu yang semakin kompetitif. Sarana transportasi misalnya, sudah banyak penduduk memilikinya, namun yang lebih terbarulah yang merefleksikan berada diposisi mana pemiliknya. Dari sisi eksistensi, penduduk berlomba-lomba memenuhi kebutuhan namun tidak sekedar melihat kegunaan saja melainkan fungsi konsumsi simbolis pun menjadi determinan penting. Keadaan ini dapat dilihat dengan semakin tingginya permintaan kendaraan di Indonesia. Berdasakan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), angka penjualan sepanjang Januari hingga Juni 2007 mencapai 197.642 unit. Jika dibandingkan dengan penjualan periode yang sama tahun 2006 yang sebesar 149.632 unit terjadi peningkatan penjualan sebesar 32 %. Produksi Jepang masih menjadi pilihan utama bagi penduduk Indonesia, misalnya Yamaha, Suzuki dan Honda. Begitu pula merek mobil yang beredar di Indonesia, penjualan masih didominasi oleh pabrikan mobil Jepang, seperti Suzuki, Mitshubisi, Daihatsu dan Honda (www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/16/teropong/lainnya03. htm). Penjualan barang elektronik di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 21 % dengan nilai total Rp. 14 Triliun, naik dari angka tahun lalu sebesar Rp. 12 Triliun. (Antara, Senin 10/12/02 dalam http:/indotradeinvestment.blogspot.com). Dan pabrikan Jepang pun masih sangat diminati.

Keadaan diatas sangat jelas menunjukkan bagaimana konstruksi pasar yang dibentuk oleh ekspansi pasar Jepang sangat kuat di Indonesia. Citra barang Jepang menjadi refleksi tersendiri terhadap kepentingan mobilitas vertikal guna menjaga eksistensi seseorang pada suatu lingkungan. Indikasi peningkatan permintaan bukan semata-mata disebabkan membaiknya kondisi ekonomi (makro) negara Indonesia, malainkan sangat bervariasi faktor yang mendorong terjadi hal tersebut. Semua determinan cukup kompleks dan saling mendukung, serta faktor pemenuhan konsumsi simbolik didorong pula oleh berbagai keadaan yang memberi peluang untuk memenuhi kebutuhan, bukan sekedar berdasar fungsional. Namun keinginan untuk menjaga eksistensi dan mengikuti lingkungan menjadi faktor yang harus diperhatikan. Hal ini terkait bagaimana sifat dasar manusia yang selalu ingin menaikkan posisinya secara sosial pada posisi yang lebih baik, atau dengan kata lain sifat manusia yang selalu melakukan mobilitas vertikal terhadap hidupnya.

Ada apa dengan "budaya"?

Culture, tidak gampang mencoba mendiskripsikan sebuah kebuadayaan. Hingga saat ini kebudayaan memiliki lebih dari 250 definisi, sudah tentu bukan tokoh sembarang dalam mencoba mengartikan sebuah kebudayaan. Kebudayaan sangat luas dan prural. Kebudayaan dapat dimulai dikaji melalui tiga titik segitiga yang dipertemukan pada satu titik di tengah segitiga itu.

Pertama, sistem nilai. Sistem nilai dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu kepercayaan, ilmu dan commonsense. Kedua, individu sosial. Pada titik kedua ini lebih kepada menunjukkan perilaku yang terbentuk dari pengaruh yang telah terinternalisasi menjadi bentukan atas mainstream terstruktur pada pola sikap mauoun perilaku. Ketiga, artefak. Artefak merupakan wujud yang mencoba menjadi sebuah simbol untuk melambangkan makna dari fenomena yang sebenarnya tengah terjadi. Ketiga titik tersebut dipertemukan pada satu titik tengah yaitu natural resources yang akan menjadi sebuah core, dimana natural resources menjadi sebuah determinan dominan dalam mempengaruhi ketiganya.

Walaupun dengan kerangka yang sama, yaitu skema diatas, pendiskripsian terhadap definisi kebudayaan tresebut pun sangat beragam. Ada yang hanya melihat "budaya" dari sistem nilai yang terbentuk pada lingkungan komunitas tertentu. Ditambah pula sistem nilai yang coba untuk dikonstruksikan pun beragam. Sudut pandang kepercayaan dalam mengkaji sistem nilai sangat berbeda dengan perspektif ilmu dan commonsense untuk mengatakan sebuah "kebudayaan". Konstruksi dasar yang cukup mudah untuk mengatakan perbedaan diskriptif terhadap sistem nilai adalah konstruksi konservatif dan modern, dimana kontruksi konservatif lebih diidentikkan dari perspektif kepercayaan. Walaupun sangat tidak menutup kemungkinan bahwa "kepercayaan" pun merupakan bentukan dan menjadi sebuah habitus pada masyarakat.

Kedua, individu dan social, disini akan memudahkan ketika disebut dengan perilaku. Jadi pada titik kedua ini perilaku mulai terbentuk, baik oleh individu maupun social (kolektif). Terbentuknya perilaku oleh individu atau kolektif ini tidak terlepas dari kebiasaan yang telah terbentuk karena factor natural resources yang dimiliki individu ataupun komunitas. Perilaku yang dimunculkan merupakan sebuah representasi dari keadaan sebenarnya atau kekayaan yang dimiliki oleh individu atau komunitas tersebut. Perilaku dan sikap bukanlah hal yang sama, ketika berbicara perilaku merupakan sebuah pemikiran yang telah diwujudkan dengan tindakan, sedangkan sikap masih bersifat abstrak dan biasanya bersifat normatif. Pada suatu wilayah akan memiliki konsensus terhadap perilaku yang siterima, berbeda dengan wilayah yang lain karena setiap tempat memiliki resources yang tidak sama pula.

Ketiga, artefak dengan kata lain alat atau berupa barang. Artefak merupakan hasil dari sebuah kebudayaan, dimana bisa berupa barang maupun sebuah simbol yang dijadikan sebagai penanda. Hal ini terkait dengan hasil dari perilaku dan sisitem nilai yang membaur kemudian memuncukan simbol. Kemungkinan yang biasa terjadi adalah banyak simbol yang serupa suatu daerah dengan daerah lain. Namun belum tentu dengan model atau bentuk simbol yang sama berarti dengan makna yang sama pula, tapi tidak selamanya seperti itu karena bentukan terhadap simbol akan mungkin memiliki makna yang berbeda di tempat yang berbeda.

Ketiga titik dari skema yang membentuk substansi kebudayaan ini merupakan sebuah rangkaian yang saling terikat dan terkait, dimana dihubugkan dengan natural resources. Sumber daya alami inilah yang akan menentukan bagaimana sistem nilai, perilaku dan artefak terbentuk. Ketiganya tidak memiliki dominansi salah satu faktor tetapi semuanya berjalan bersama dan saling mendukung. Arah panah yang menggambarkan aliran gerak satu titik dengan titik yang lain pun bisa bolak-balik tanpa harus dimulai pada satu titik tertentu. Dengan demikian budaya ini sangat luas, dimana dengan pemaknaan kebudayaan yang sangat luas maka setiap sendi pemikiran, perilaku dan hasil atau simbol yang kita kenal saat ini bisa dikatakan menjadi sebuah budaya. Dan pada akhirnya tidak dapat didefinisikan secara pasti dengan satu makna apakah arti budaya itu? Jadi budaya hanya bisa kita maknai bahwa disitu terdapat sistem nilai, individu/sosial (perilaku) dan artefak.